Lihat ke Halaman Asli

Hsu

Seorang manusia biasa

Penjual Ember

Diperbarui: 21 September 2015   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ketika matahari masih sibuk menggeliat dalam peraduannya, wajahnya sudah begitu segar berseri menyambut hari. Menggendong sebuah ransel lusuh, berjalan ke samping rumahnya yang beratapkan baliho bekas dan berdinding campur dari bahan-bahan bekas. 

Dua buah ember hitam besar yang biasanya digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga untuk menampung air dan mungkin juga cucian baju diikatkan dengan dua buah potongan tali plastik kecil bekas yang biasanya ia kumpulkan sambil berjalan berkeliling. Dimasukkannya potongan tali plastik ke lubang kecil di pinggiran ember, diikat, ketika dirasa kuat diikatkan lagi ujung tali plastik satunya pada besi chrome kecil yang menjadi penghias ransel lusuhnya. Kiri kanan ia ikatkan. Tampak seperti seekor kura-kura dengan tempurungnya manakala dua buah ember hitam besar itu terikat dan tergantung di belakang ransel di belakang punggungnya.

Merogoh saku celana panjangnya mengeluarkan sebuah kertas kecil berisi daftar tulisan. Nama-nama komplek perumahan. Seperti daftar giliran ke mana ia akan berjalan setiap harinya. Terdiam sejenak sambil menengadah ke langit yang masih agak gelap sambil mengucapkan sesuatu. Sebuah Doa terpanjatkan dari bibirnya. Dua buah ember lagi dipegangnya masing-masing dengan jari-jari lengan kanan dan kiri. Posisi bagian belakang ember berhadapan ke bagian dalam pelukan ke dua lengannya. Mulailah ia berjalan.

"Brak, Brak" 

Bunyi bagian belakang ember yang beradu. Demikian caranya berjualan. 

"Hei, Berisik! Pagi-pagi sudah gaduh!"

Terkadang mendapatakn umpatan. Bisa biasa saja, sedang, dan terkadang begitu keras. Umpatan menjadi makian.

Tetap diam tanpa reaksi sambil terus berjalan. Yang ia cari adalah yang membutuhkan. Yang suka menampung manfaat. Yang tidak keberatan dengan caranya mencari rejeki. 

Sudah beberapa hari kuikuti penjual ember itu. Hari pertama dan beberapa hari selanjutnya namun belum sampai seminggu. Waktu awal yang membuatku menyerah oleh jarak dan juga cuaca. Keingintahuan apakah ia berhasil menjual ember-embernya. Banyak tanya dalam hati. Dan hari ini akan kuikuti hingga dapat menghapus dahaga keingintahuanku.

Panas dan pegal di bagian betis mulai terasa. Sudah tiga botol air mineral kuteguk sambil juga membasahi atas kepalaku. Belum ada satupun yang berhasil ia jual. Entah sudah berapa kilometer berjalan kaki. Baginya biasa dan bagiku luar biasa pegal dan lelah.

Di sebuah ujung tikungan, seorang ibu memanggilnya. Si ibu menawar dan ia menggerakkan jari-jarinya. Bahasa tubuh. Apakah Ia? Entahlah belum bisa memastikan. Satu lembaran uang berwarna hijau. Berarti dua puluh ribu Rupiah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline