Lihat ke Halaman Asli

Hsu

Seorang manusia biasa

Tsundere dan Lelaki Penjaga Toilet

Diperbarui: 16 September 2015   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tempat ini tempat hina. Tempat keluar-masuknya para pendosa. Yang hitam dan yang putih pun tampak jelas manakala si pesakitan berdiri bersamaan dengan para penjaga. Apalagi jika duduk dengan para pendatang yang membawa beragam kepuasan. Kepuasan perut yang sudah lama terisi hanya oleh beras bercampur kutu dan batu, yang selalu digelar di atas lantai berwarna abu-abu dan sudah sangat bau. Dinding-dinding kotor ratusan tahun tempat mencurahkan rasa malu yang terlanjur berlaku. Namun tak semuanya seperti itu, bagian depan tempat ini adalah tempatnya para penghuni dan penjaga memainkan sandiwara. Hanya suara-suara yang tersiksa yang akan terbawa keluar namun terkubur oleh rasa lupa. Rasa lupa bahwa mereka pun sebenarnya manusia walaupun begitu berdosa.

Musoli namanya. Pencuri kambing yang tiada berdaya karena keadaan memaksa. Demi keluarga dosa pun tercipta.

"Jaga toilet ini sampai kamu mewariskannya kepada yang lain sesuai penilaian kamu! Penjara pulau akan menjadi taruhannya jika kamu gagal mengawasi toilet ini!"

Sebuah harapan didapatnya karena tanpa kata ia selalu berusaha bekerja membantu siapa saja. Termasuk membantu Pak Saad yang sudah renta dan sebentar lagi bebas melangkah kembali ke pangkuan keluarga.

Setelah empat bulan lamanya ia berjaga. Seorang wanita berkerudung merah muda terduduk sambil menatap bunga-bunga kecil beraneka warna. Yang setelah disapa dan menengokkan muka ternyata sudah berusia empat puluh dua. Berharap yang datang Dewi Cinta malahan wanita lumayan berusia. Tak mengapa daripada tak ada yang bisa diajak untuk bicara.

"Mengunjungi siapa?"

"Entahlah orangnya kini di mana!"

"Boleh tahu siapa nama orang itu?"

Bibir tertutup dan lidah yang kelu hanya mampu memberikan sebuah petunjuk tulisan saja. Yakin bahwa jawabannya pasti akan sama saja. Hancur luluh perasaan pun tiada yang tahu. Untuk apalagi orang ini bertanya. Bukan pengulangan ketiga kali yang rasa sakitnya pasti sama bahkan mungkin lebih dalam lagi.

"Sebentar aku tanyakan!"

Beberapa langkah menuju sebuah jawaban. Berharap yang dimaksud masih ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline