Langsung dan singkat saja.
Berdasarkan Keppres Nomor 52/P tahun 2014, tertanggal 31 Mei 2014, Jokowi sebagai salah satu Capres yang resmi di tetapkan dan di umumkan oleh KPU, telah resmi meninggalkan jabatan sementara waktu sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan Keppres itu pun sekaligus mengamanatkan wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama sebagai Plt. (Pelaksana Tugas) Gubernur DKI Jakarta.
Jika mengacu kepada jadwal KPU, status nonaktif Jokowi sebagai Gubernur DKI adalah sampai dengan tanggal 22-24 Agustus 2014, dan jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi mengenai hal itu, maka status nonaktif Jokowi akan diperpanjang sampai Oktober, demikian menurut Kapuspen Kemendagri.
Kemudian juga berdasarkan pada UU No.42 tahun 2008 tentang Pilpres, khususnya pasal 7 ayat (1) tertulis bahwa:
"Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden."
UU No.42/2008 ini tak mengharuskan Jokowi untuk mundur dari kursi Gubernur DKI Jakarta, namun memang secara etika pemerintahan dapat dikatakan bahwa Jokowi tidak taat pada etika pemerintahan. Di sisi sebaliknya, dengan keluarnya Keppres pemberhentian sementara bagi Jokowi di atas, maka menjadi dilema pula sebenarnya bagi presiden, secara etika pemerintahan menjadi mengabaikan etika pemerintahan dengan tidak mundurnya Jokowi, namun untuk meminta mundur kepada Jokowi pun akan jadi bertentangan dengan UU tentang Pilpres, khususnya pasal 7.
Memang ada kontradiktif dalam UU No.42/2008 khususnya pasal 6 dan pasal 7 jika kemudian dikaitkan dengan UU No.43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian, khususnya dalam pasal 11 yang menjelaskan mengenai "Pejabat Negara". Sementara ini Jokowi sudah resmi sebagai seorang Capres berdasarkan SK KPU No. 453/Kpts/KPU/Tahun 2014. Nah, jika memang berbicara mengenai melanggar pasal tentang pengunduran seorang pejabat negara sehubungan dengan pencalonan dirinya sebagai seorang Capres, maka dapat dikatakan bahwa yang melanggar UU itu sendiri (dalam hal ini terkait dengan pasal 6 UU No.42/2008 dan Pasal 11 UU No.43/1999) sebenarnya adalah KPU. Karena tanpa keputusan dari KPU, maka saat ini Jokowi pasti tak bakalan jadi salah satu Capres.
Intinya sebenarnya adalah adanya pasal-pasal yang kontradiktif dalam UU tentang Pilpres yang jika kemudian di kaitkan dengan UU yang menjelaskan tentang Pejabat Negara.
Dan jika pencapresan Jokowi dibatalkan demi hukum, bagaimana dengan keputusan presiden sendiri yang telah mengijinkan yang sebenarnya pun tak sesuai dengan UU Pilpres dan UU tentang pejabat negara???
Pak Jokowi kan sudah ikut aturan, dan kalau di sebut melanggar aturan, bagaimana dengan para pembuat keputusannya yang sudah mengeluarkan Surat Keputusan??? Batal Demi Hukum Semua Dong??? Pak Jokowi Batal Demi Hukum, SK KPU Batal Demi Hukum, dan Keppresnya pun Batal Demi Hukum.
Salam 2 Jari!