Lihat ke Halaman Asli

Menang dalam Sebuah Perdebatan yang Lain

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1405342236640577410

Aku baru saja membaca sebuah tulisan yang topiknya di seputar adagium vox populi vox dei lalu dikaitkan dengan hasil Pilpres 2014. Meski topiknya berkait masalah politik, namun aku akan membahas aspek logisnya. Maka tulisan ini ku masukkan ke dalam kanal filsafat.

Menurut penulisnya, dalam Pilpres 2014 tidak ada vox dei karena:

Pertama, vox populi vox dei berarti, misalnya, mayoritas rakyat menuntut pergantian Presiden secara inkonstitusional. Estimasi angkanya adalah 99 %.

Kedua, karena Pilpres 2014 prosentasi perolehan suara untuk kedua kubu 50 % berbanding 50 % maka kesimpulannya adalah tidak ada vox dei dalam Pilpres 2014.

Setelah membaca argumen di atas, aku pikir penulisnya patut diberi apresiasi untuk kemenangannya dalam sebuah perdebatan yang lain, tapi bukan perdebatan mengenai makna vox populi vox dei dalam konteks Pilpres 2014.

Mengenai apakah vox populi pasti merupakan vox dei, rasanya itu tidak perlu dibahas. Kita semua tahu bahwa Hitler pun menjadi penguasa karena vox populi. Jadi vox populi tidak selalu sama dengan vox dei.

Dan sebaliknya juga benar bahwa tidak selalu suara minoritas bukan merupakan suara Tuhan.Alcuin, seorang ilmuwan asal Inggris yang menulis surat kepada Charlemagne (thn. 789), menyatakan, "Jangan dengarkan orang yang mengatakan 'suara rakyat suara Tuhan' karena kerumunan orang banyak sangat dekat dengan kegilaan".

Maka diperlukan kriteria pengamatan yang lain untuk menentukan apakah pejabat terpilih mewakili vox dei atau sebenarnya hanya mewakili vox populi saja.

Terlepas dari itu, atas dasar apa penulis menganggap bahwa vox populi berarti 90 % baru bisa disebut vox dei? Tidak ada acuan objektif apa pun untuk asumsi seperti ini. Bukankah dalam sistem demokrasi yang dianut di Indonesia, vox populi berarti memperoleh suara di atas 50 % dan beberapa syarat pendukung lainnya berkait perhitungan suara.

Lebih terangnya, menurut pengamatanku, penulisnya mengidap dua false assumption.

Pertama, asumsi yang salah bahwa suara rakyat (mayoritas) pasti berarti suara Tuhan. Itulah sebabnya, ia menolak menyebut hasil Pilpres ini sebagai "tidak ada suara Tuhan".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline