Lihat ke Halaman Asli

Sindrom "Taken for Granted"

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1406468858578464370

Aku tahu istilah "sindrom" banyak digunakan dalam konteks klinis. Aku tidak paham soal konteks itu. Aku hanya ingin menggunakan istilah ini dalam arti sebuah gejala atau fenomena.

Beberapa jam yang lalu, aku bercakap-cakap dengan mami. Mami bicara banyak hal. Satu hal yang menarik perhatianku adalah taken for granted. Idiom ini kira-kira berarti menerima atau menganggap sesuatu sebagai sudah selayaknya didapatkan atau dinikmati atau diterima.

Memang ada orang yang menganggap taken for granted memiliki sisi positif. Misalnya Joyce Brothers pernah mengatakan, "Being taken for granted can be a compliment. It means you've become a comfortable, trusted elemen in another person's life."

Tetapi, umumnya orang tidak bertahan lama dalam situasi itu. Orang memiliki instink dasar untuk dianggap berharga, diperjuangkan, dipertahankan, dirindukan, dan diistimewakan dari waktu ke waktu.

Sayangnya, taken for granted sering diaplikasikan dalam cara yang salah. Bahkan cenderung berkesan bahwa orang yang dianggap demikian hampir-hampir non exist. Ini sisi terburuknya dan mungkin bisa disebut sebagai sebuah sindrom.

Aku menyebutnya "sindrom taken for granted". Intinya, sindrom ini ada pada orang-orang yang menganggap upaya untuk memperjuangkan serta mempertahankan sesuatu atau bisa juga seseorang tidak perlu lagi. Sesuatu atau seseorang tersebut sudah selayaknya atau sudah sepatutnya kita miliki.

Biasanya, orang-orang dengan sindrom di atas baru menjadi sadar dan bahkan tergopoh-gopoh berjuang tatkala sesuatu atau seseorang yang mereka asumsikan tidak bisa "lepas" atau "pergi" itu sudah sangat jengah dan tidak dapat lagi menahan diri untuk pergi. Sadar ketika semuanya sudah terlambat.

Aku banyak membaca dan mendengar, ada anak-anak dari orangtua yang super sibuk yang baru dianggap "hilang" dari rumah ketika mereka sudah benar-benar pergi. Ada juga anak-anak yang baru menangis meraung-raung penuh penyesalan ketika tiba-tiba orangtua mereka sudah tidak ada. Mami juga mengisahkan ada orang yang baru kelabakan setelah istri atau suaminya sudah memutuskan untuk meninggalkan rumah.

Aku berpikir setelah mendengar kisah mami, orang jatuh ke dalam sindrom taken for granted karena menggunakan pola pikir once-for-all (satu kali untuk seterusnya). Mereka berpikir bahwa satu kali di awal mereka menaklukkan hati dan hidup seseorang, maka seterusnya orang itu akan berada dalam sangkar emas mereka. Mereka lupa untuk berjuang mempertahankannya. Mereka menjadi lengah lalu dengan atau tanpa sadar membiarkan situasi kejengahan itu menjadi menumpuk hingga menggunung dan akhirnya meluber dalam kepergian. Mereka memaknai diri mereka sebagai penakluk yang hanya perlu satu kali menaklukkan dan seterusnya sesuatu atau seseorang itu akan tetap tertakluk.

Ya sudahlah. Aku hanya ingin menggoreskan apa yang aku pikirkan lebih lanjut setelah mendengar nasihat dan kisah mami. Gak tau deh apakah yang ku goreskan di sini sesuai dengan yang mami maksud atau tidak. Yang penting nulis lagi. Hahahahaha.

I love you, Mom!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline