Lihat ke Halaman Asli

Nisa Sawalia

Siswi SMK

Dendam Penyesalan

Diperbarui: 14 Agustus 2023   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Harum malam menyebar di seluruh hutan menambah keromantisan sepasang kekasih yang sedang merayakan ulang tahun pernikahan mereka. hutan itu adalah tempat pertama kali mereka bertemu saat camping, romantis dan cinta pertama terlihat jelas di mata mereka berdua. “Udah cukup kok, tambahin aja kayu api unggunnya Sayang” Aku menambahkan kayu bakar membuat api unggun semakin besar sedang istriku menggosokkan kedua tangannya yang kedinginan. melihatnya sudah lebih nyaman dan menghidupkan tape recorder berisi lagu Waltz yang dia suka, lantunan piano menambah suasana klasik di antara kami. Aku segera menawarkan tanganku padanya, dia menerimanya dengan lembut, kami menari di bawah rembulan dan gelapnya malam dilengkapi suara alam hutan. kaki kami kompak melangkah pola persegi juga berputar mengikuti iringan musik, kepala kami saling mengingat pertemuan pertama itu saat mata kami bertatap tak sengaja dan tak sampai 5 detik tatapan itu kamu saling suka hingga jatuh cinta. Tangan kami memegang erat satu sama lain, jantung ini masih sama berdegup kencang, mata kami saling memandang kuat. “krekkk krek kk krekkk” Tape recorder itu kusut lantas mati seketika memperjelas suara hutan yang penuh jangkrik dan dengungan burung hantu. Kami saling tatap, berbeda dengan tatapan sebelumnya. Bulu Kuduk kami naik, aura mencekam muncul begitu saja. “Pratakkk....” Hentakan boots dan suara benda diseret membuat wajah kami pucat Pasi. Kami saling mendorong isyarat untuk melihat situasi tak jauh dari tempat. Sebuah bayangan muncul mendekati kami kedua, kami berdua hanya terpatung membisu. “Huhhhh huhhh huhhhh” Seorang pria tua dengan ransel besar yang diseret, wajahnya penuh luka, rambutnya berantakan dipenuhi dedaunan, nafasnya berat dan berjalan tergopoh-gopoh. “Tolong, haus....” suara pelan dan sangat lemah. Aku mendekati pria tua itu melihat-lihat wajahnya, terlihat familiar tetapi aku tidak mengenalnya. Aku iba melihatnya. “Rahel, cepat ambilkan air... “ Rahel segera berlari, memberikan segelas air hangat. Kami bertiga duduk di potongan kayu mengelilingi api unggun menatap satu sama lain penuh curiga. “Ini di mana ya? “Tanya pria tua asing itu memecah suasana hening di hutan. Rahel menyahut dengan ketus “Di hutan, kamu buta ya? .. “ Kesal perayaan pernikahan kami terganggu padahal sudah direncanakan lama sekali. “Aku juga tahu ini hutan” Pria tua itu menaikkan nadanya emosi lalu sedikit tersenyum, aku jadi curiga kenapa dia senyum-senyum ke Rahel, sementara Rahel terlihat sangat tidak suka dengannya. “Bapak ini dari mana ya? “ Pria tua itu diam sejenak tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang sudah hampir botak tampak sekali dari tingkah lakunya dia bingung mau menjawab apa. “Ini tahun berapa ya?” Sontak Rahel dengan emosi melempar gelas kosong di depannya mengenai kepala pria itu, gelas itu meleset mengenai pundaknya. “Emosi mulu mbak...” “Kalau ditanya itu jawab bukan nanya balik, lagian bapak ngapain sih bisa di sini? tersesat ya? “ Rachel melemparkan kata-katanya. “Sabar sayang, pak masa bapak nggak tahu ini tahun berapa pak, bapak gegar otak ya? ini tahun 2024 pak” Pria tua itu mengelus dadanya, tampaknya dia sangat lega. “Rahel dan Tama kan? “ “Iya Dari mana kamu tahu?” Aku bingung kenapa dia bisa tahu nama kami berdua kami bahkan tak mengenalnya. “Aku datang dari masa depan” Tawa Rahel dan aku memenuhi hutan sekeliling kami menutup suara jangkrik yang dari tadi ikut nimbrung, kami mengejek pria tua itu sudah gila. “Tolong percaya, kalian berjumpa pertama kali di hutan ini kan, aku ini Tama dari masa depan” “Pak, jangan mengkhayal deh” “Saya ini serius, aku Tama, kau dari masa depan Tama” Pria tua yang mengaku dia adalah aku dari masa depan itu mengeluarkan bukti-bukti dalam tasnya. Aku mulai sedikit percaya dan Rahel hanya diam memperhatikan, ada benda-benda aneh super canggih dan foto-foto kenangan kami termasuk cincinku. “Untuk apa kau datang ?” tanyaku serius pada aku di masa depan. “Kau, maksudku aku, kita, kita adalah pemimpin yang buruk” Pria itu mulai menangis menceritakan kegagalannya yang sangat fatal sebagai pemimpin kota yang kami tinggali. Singkat nya aku menjadi sangat buruk, aku terpengaruh orang-orang dekat ku, melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat bahkan Rahel istriku menjadi korbannya. “Lantas kau kemari, ke masa lalu untuk memberikan pesan padaku? “ “Tidak” Aku versi tua itu pun mengeluarkan pisau dari saku celananya, tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Rahel, ia terbunuh, tikaman di perutnya membuat tanah seketika menjadi merah, banjir. Aku syok, terpatung tak tau harus apa. “Kenapa kau mau membunuh kami? “ Suara ku bergetar takut, badanku sudah sangat dingin menusuk hingga ke tulang. “Kau memang pemimpin yang buruk Tama, aku sudah gila, aku tak tahu harus apa Tama, Apa kau dengar, aku bersa... Bersalah dan itu juga salahmu...” Aku versi masa depan tertawa terbahak-bahak sambil menangis, dia, itu aku memang sudah gila. Sakit, dia menikamku tepat di jantung ku. “Lebih baik kau mati sekarang Tama, kita sudah sangat fatal, aku gila” Tama menari di tengah hutan menghidupkan kembali tape recorder berisi musik waltz itu sambil tertawa dan menangis. Begitu mirisnya, tiba akhir ketukan nada piano waltz dia terjatuh, berbaring bersama jasad Tama dan Rahel. Sunyi Hanya percikan api Dan suara burung hantu menyelimuti Penyesalan Tama yang begitu pilu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline