Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Sejarah Perjalanan Diplomasi Nusantara

Diperbarui: 5 Januari 2019   13:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mengambil Hikmah dari Kisah dari Kerajaan Aceh Darussalam

Sekitar tahun 1400-an, Aceh sudah berkembang menjadi sebuah jaringan perdagangan luas di Asia selatan. Terbentang luas dari Laut Merah di barat hingga ke Canton dan dibagian timur. Terkenal tidak tidak hanya penyebaran Islam di dunia Melayu namun pesatnya bidang perekonomian membuat banyak kerajaan nusantara kagum. Pada masa itu, Aceh ibarat kerajaan modern yang makmur dan kuat.

Kerajaan maritime 'kaya' itu tidak sekadar tentang perdagangan dan pemerintahaan. Kerajaan Aceh Darussalam  juga sangat pintar dalam membangun hubungan baik dengan beberapa kerajaan lainya.. Pada suatu masa, Raja Aceh yang sering disebut juga "Sultan Perkasa Alam Johan" selalu melihat peluang dalam setiap relasi. Dalam setiap kesempatan, Sang Perkasa Alam Johan akan menyambut tamu negara dengan baik dan hormat. Sehingga tidak mengherankan utusan negeri asing ini merasa terkesan dengan mewahnya sambutan dari kerajaan.

Hubungan Dagang Kerajaan Aceh dan Dunia Barat

Dalam sebuah sejarah tertulis, Raja Iskandar Muda telah lama membangun hubungan dengan kerajaan inggris. Tahun 1615 Sulthan mengirimkan surat kepada Raja Inggris James I.

"Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".

Coretan di atas menjadi salah satu bukti adanya hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh dan Inggris. Tentu tak hanya sekadar hubungan diplomatik biasa, karena Aceh dan Inggris pernah menandatangani Perjanjian Persahabatan Abadi (Perpetual Friendship Treaty) antara Inggris dan Aceh di abad ke 17. Isi perjanjian tersebut menyatakan kedua negara akan saling membantu dari serangan pihak lain. Namun, pada tahun 1879an Inggris mengkhianati perjanjian ini. Ketika negeri ratu Elisabeth memutuskan menandatangani Perjanjian Sumatra (Sumatran Treaty) dengan Belanda untuk menguasai nusantara.

Selain itu, kerajaan Aceh sejak dulu sudah membangun relasi dengan  negara eropa lain seperti Perancis. Pada priode (1838-1870) Sultan Ibrahim menulis sepucuk Surat kepada Raja Louis-Philippe pemerintah Kota Marseille. Sultan ingin menghidupkan relasi lama antara Perancis dan Aceh yang sebelumnya pernah ada pada zaman kakeknya. Sultan mencoba merajut kembali hubungan ini untuk menghambat Belanda yang tidak terbendung. Tulisan secarik kertas itupun disambut dengan baik oleh Louis-Philippe. Ia langsung membuat sepucuk tulisan yang mengungkapkan hasratnya untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Aceh.

Tidak hanya berelasi dengan Inggris dan Perancis, Anthony Reid dalam bukunya "An Indonesian frontier: Acehnese and other histories of Sumatra" ia mengatakan "Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan. Sepanjang abad 16 hingga awal abad ke 19." Jauh sebelum kepemimpinan Iskandar Muda, Sultan Alaaddin Syah al-Kahhar mengirim surat kepada Sultan Sulaiman Agung Kerajaan Usmani-Otoman Turki 1566.

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Muhammad Ghauth, seorang Duta Besar yang diutus Sulthan Ibrahim pernah diberikan dua misi penting. Ia ditugaskan membawa surat ke Constantinople perihal dukungan diplomasi dan militer oleh Turki.

Diplomasi masa kini

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline