Lihat ke Halaman Asli

Devide et Impera di Lingkaran Istana

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi yang dilaksanakan tahun lalu mungkin jadi yang termeriah selama Indonesia bediri. Semangat tentang Indonesia baru terus didengungkan seiring dengan dilantiknya Presiden Jokowi yang konon katanya pro rakyat dan bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Beberapa waktu berlalu, harapan yang didengung-dengungkan pun mulai hilang dari janji. Alih-alih Indonesia semakin maju, sekarang malah rakyat terbelalak dengan perseteruan kpk vs polri, kapan mengurus negaranya?

Setiap negarawan pasti tidak asing dengan istilah "Law and Order" yang berarti "hukum dan kebijaksanaan". Setiap pemerintahan punya visi, visi itu diterjemahkan dalam kebijakan pemerintah, dan kebijakan itu diatur dalam serangkaian aturan hukum. Menurut cara inilah negara-negara tumbuh dengan membawa cita-cita bangsa dan menuangkannya dengan serangkaian kebijakan. Saya yakin bahwa cita-cita Presiden Jokowi dan Kabinet Indonesia Hebat adalah untuk kemajuan Indonesia, tapi bagaimana jika dalam proses pembentukan kebijakan tersebut Presiden mendapat informasi yang salah, atau bahkan sama sekali keliru? Bagaimana kalau orang-orang terdekat Presiden sengaja memberikan informasi yang menjatuhkan pemerintahan? Bagaimana jika orang-orang di lingkaran Istana tidak ingin Indonesia maju dikarenakan kepentingan pribadi ataupun kepentingan asing?

Beberapa nama yang dianggap sebagai "pembisik" Presiden belakangan ini mencuat ke media. Trio macan istana yaitu Luhut Pandjaitan, Andi Wijayanto, dan Rini Soemarmo diduga membawa misi pribadi yang berbeda dengan arah misi pemerintah. Kebijakan demi kebijakan yang dibisikan dan di terbitkan dengan well-executed oleh para pembisik inipun semakin membuat keadaan Indonesia tidak karian. Ada misi apakah? Salah satunya adalah pembentukan tim 9 untuk menyelesaikan kisruh KPK-Polri yang sedang hangat. Kenapa membuat tim 9? Siapa yang memilih tim 9? Apa agenda yang dititipkan kepada tim 9? Sebuah keputusan yang aneh ketika pemerintah membentuk tim 9 dan mengabaikan keberadaan DPR sebagai perwakilan rakyat. Lebih aneh lagi ketika hanya dalam beberapa hari saja tim titipan "entah siapa" ini memberikan rekomendasi yang bertentangan dengan DPR. Dari peristiwa ini terlihat bahwa para pembisik bertujuan untuk membenturkan ketiga lembaga pengemban fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan tidak adanya ketahanan dari dalam suatu negara maka kepentingan-kepentingan golongan atau pribadi bisa masuk dengan mudah dan melenggang tanpa ada koreksi dari masyarakat. Kita lihat saja perpanjangan kontrak Freeport, kalau saja tidak ada kisruh KPK-POLRI yang "diciptakan" ini, maka perpanjangan kontrak Freeport pastilah mendapat koreksi dari rakyat Indonesia yang sudah melek informasi ini. Bisa dibilang ini adalah operasi intelijen yang sukses. Kepentingan siapa yang diperjuangkan? Tentunya pembaca bisa menerka sendiri.

Sebuah nama lagi muncul menjadi pembisik yang dengan menjauhkan Presiden Jokowi dengan PDIP, dan memusingkan pemerintah dengan konflik antar lembaga negara. Mensesneg Pratikno, menjadi orang dekat Presiden yang diduga menjauhkan Jokowi dari PDIP. Kita bisa melihat saat terjadi kisruh pelantikan BG menjadi Kapolri, di tengah situasi yang memanas Pratikno mengeluarkan statement yang mengatakan bahwa akan sangat indah jika Budi Gunawan memiliki inisiatif mundur. Namun pernyataan itupun menjadi pertanyaan dari kalangan PDIP apakah pernyataan itu merupakan pernyataan Presiden atau pernyataan Pratikno sendiri? Disinipun terlihat sebuah ketidakselarasan antara Pratikno dan PDIP. Posisi Mensesneg yang merupakan muara setiap kebijakan pemerintahan, akan menjadi sangat fatal apabila diduduki oleh orang yang tidak memiliki integritas. Bebeapa kebijakan seperti pembentukan tim 9 dan mengesampingkan penilaian DPR menunjukkan bahwa Pratikno lebih mengedepankan kebijakan dan mengacuhkan hukum. Bisa dibilang ini kediktatoran masa kini, yang dilakukan dengan halus dan tidak terlihat. Penggunaan prinsip "Order dan Law" bukan "Law and Order" , yaitu menetapkan kebijakan yang mengarah pada tujuan tertentu, kemudian memanipulasi hukum untuk mendukung kebijakan yang menguntungkan kepentingan segelintir orang. Dengan adanya kebijakan yang salah arah, apa bisa negara ini mencapai tujuan pembangunannya?

Jadi, apakah Pratikno masih sevisi dengan Pemerintah? Atau memang kekisruhan inilah yang menjadi tujuan dari Pratikno sehingga agenda-agenda asing bisa masuk dengan mudah.

Good goverment depends on the people's good judgements.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline