Lihat ke Halaman Asli

"Enaknya" Menjadi Pemimpin

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu hal yang marak di negeri ini adalah rame-ramenya perebutan kursi kekuasaan. Perebutan kursi pemimpin, entah pemimpin, pemimpin besar atau hanya pemimpin tapi huruf “n” terakhir ditiadakan. Hmm... Kalau yang itu mungkin saya kali', pemimpi. Pemimpin tanpa huruf “n” di belakang.

Melihat segala hal polemik tentang pemimpin, membuat saya berpikir “Emang enak yah duduk di kursi pemimpin?”.

Kok saya melihatnya lain yah. Saya pikir, menjadi pemimpin, apalagi pemimpin suatu daerah. Sangat nggak enak. Nggak nyaman bagi pertanggungjawaban saya.

Saat ini saya tidak mengkritisi artis, bintang film, bintang sinetron, atau bintang jatuh tertentu karena skandal tertentu pula. Saya pikir warga Kompasiana sudah pada cerdas. Mampu memilih mana yang sesuai dengan akal logika dan hati nurani. Dan saya percaya hal itu.

Saya pikir, menjadi pemimpin sungguh lebih banyak ga enaknya daripada enaknya. Saya pernah memimpin beberapa organisasi dan salah satu komentar terjujur saya adalah: “Beuh, repot!!”. (set dah! udah di bold, di miringin, di tambah garis di bawahnya lagi)

Menjadi pemimpin itu repot. Bayangkan! Saat orang lain sedang bersantai dengan keluarganya, bersantai dengan kesendiriannya dan bersantai dengan dunianya sendiri, seorang pemimpin harus memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan agar kesantaian pengkutnya dapat langgeng.

Berpikir keras tentang beberapa hal dan beberapa keputusan yang harus diambil. Mengambil keputusan itu nggak mudah lho. Ada konsekwensinya. Bisa jadi populer, bisa jadi dibenci. Dan pemimpin harus mengambil resiko antara menjadi populer atau menjadi populer yang di benci oleh anak buahnya.

Terkadang ia harus mengambil keputusan yang berat, yang nggak populer dan nggak mengenakkan. Tapi itulah, pengambilan keputusan itu harus dilakukan oleh pemimpin. Karena ia adalah pemimpin. Seseorang yang bisa dijadikan pahlawan atau kambing hitam. Tergantung bagaimana arah angin politik berhembus.

Pemimpin juga mempunyai keluarga dan kehidupan pribadi sendiri. Namun hal itu terkadang (bukan terkadang sih, seringnya!!) harus dikorbankan demi kesejahteraan dan keamanan pengikutnya. Proporsi untuk ketemu menjadi lebih jarang, dialog secara tatap muka juga jarang –kalau yang ini masih bisa bersyukur deh, ada teknologi video call--, dan segala kejarangan secara personal lainnya.

Setelah tahu repot seperti itu, lantas kenapa masih mau jadi pemimpin?

Jadi pemimpin itu nggak enak karena diri sendiri sudah bukan menjadi “milik” pribadi. Sekali anda menjadi pemimpin, anda adalah “properti” yang dimiliki oleh banyak orang dan tentu saja, banyak kepentingan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline