Langit sore itu berwarna jingga keemasan, cahayanya menyelimuti halaman rumah kami yang sepi. Aku, Dinda, duduk di teras sambil menatap pohon mangga yang berdiri kokoh di tengah halaman. Rumah besar ini selalu terasa sunyi meskipun penuh barang antik dan perabot mewah. Namun, keheningan ini mulai terusik sejak kedatangan orang baru di rumah kami: kakak tiriku, Arya.
Arya, anak dari pernikahan kedua ayahku, baru saja pindah dari Jakarta setelah ibunya meninggal. Ia lebih tua lima tahun dariku, seorang pemuda dengan wajah dingin dan mata yang selalu terlihat menilai. Ketika dia tiba, ibu tiri kami, Lestari, menyambutnya dengan penuh haru, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang janggal di balik senyuman itu.
Aku mencoba bersikap biasa saja, tetapi ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantuiku setiap kali Arya berada di dekatku. Ada sesuatu tentang dirinya yang tidak bisa kujelaskan, sesuatu yang terasa salah. Namun, aku tidak pernah berani mengungkapkan hal itu pada siapa pun, terutama pada ibu. Dia terlalu sibuk mengurus perusahaan keluarga bersama ayah, dan selalu menekankan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga.
Hari-hari pertama Arya di rumah kami diisi dengan keheningan. Dia jarang berbicara, lebih sering menyendiri di kamarnya. Namun, malam itu, ketika aku sedang belajar di ruang tamu, dia tiba-tiba duduk di sebelahku.
"Sedang belajar apa?" tanyanya dengan suara rendah.
"Biologi," jawabku singkat, sambil terus memandangi buku di depanku.
"Kamu suka biologi?"
"Lumayan."
Percakapan itu berakhir begitu saja. Dia duduk diam, memandang layar televisi yang menyala tanpa suara. Aku bisa merasakan tatapannya sesekali beralih padaku, membuatku semakin gelisah.
"Kamu tahu, Dinda," katanya setelah beberapa saat, "Aku tidak pernah mengira akan tinggal di sini. Semua ini terasa asing bagiku."
Aku menoleh padanya, mencoba membaca ekspresinya. "Kamu bisa menyesuaikan diri seiring waktu," jawabku.