Lihat ke Halaman Asli

Short Story

Mahasiswa

Ketenagakerjaan: Kurangnya Perhatian Pemerintah dalam Menjamin Pekerja Difabel

Diperbarui: 12 November 2022   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Bapak Faisol ketika bekerja menjual minuman es (Sumber : Dokumen Pribadi)

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kewajiban untuk saling menghargai, membantu, dan saling menerima. Hal ini terjadi karena kita hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain. Begitu pula dengan kelompok difabel, mereka hadir bukan sebagai perbedaan yang ada di kehidupan bermasyarakat tetapi mereka hadir menjadi bagian dari Masyarakat. Penyandang difabel adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan khusus dalam menjalankan aktivitasnya. Meskipun dengan keterbatasan yang mereka miliki, justru hal tersebut mampu menjadi motivasi mereka untuk terus berjuang dan semangat dalam menjalani hidup.

Bapak Faisol Sofyan (44), penyandang Tuna Daksa yang bertempat tinggal di Desa Langkap, Kecamatan Bangsalsari, Jember. Beliau menyandang Tuna Daksa sejak umur lima tahun. Hal tersebut terjadi akibat kesalahan medis ketika beliau sakit, sehingga mengakibatkan kaki kirinya tidak dapat tumbuh dengan normal sebagaimana kaki kanannya. Keterbatasan yang beliau miliki tidak membuat rasa percaya dirinya menurun. Beliau lebih suka beraktivitas di luar rumah bersama dengan teman-temannya. Selain itu beliau juga bergabung dalam Komunitas PERPENCA (Persatuan Penyandang Cacat), Komunitas DMI (Difabel Motor Indonesia), dan Komunitas Radio.  

Di tengah kondisi tersebut beliau memiliki semangat kerja yang tinggi. Beliau telah mulai bekerja semenjak ayahnya meninggal ketika kelas dua SMP. Beliau pada saat ini berprofesi sebagai penjual minuman es dan jasa menjahit di rumahnya. Usaha berjualan minuman es ini baru berjalan sekitar dua bulan, beliau membuka usaha berjualan minuman es karena usaha jasa jahit yang beliau buka sepi pelanggan sejak pandemi melanda. Sebelum membuka usaha berjualan minuman es, beliau pernah mengikuti pelatihan kerja seperti menjahit di kota Bangil, Pasuruan selama setahun. Informasi pelatihan kerja itu beliau dapatkan dari rekannya. Setelah mengikuti pelatihan kerja itu beliau bekerja di Pabrik Garmen, Gresik selama dua tahun. Seiring berjalannya waktu beliau memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Hal ini terjadi karena kurangnya fasilitas yang ada. Kemudian beliau bekerja sebagai pembuat tas souvenir di Surabaya sebelum memutuskan untuk bekerja di kampung halamannya.

“Kalo dulunya kerjanya di garmen, Gresik dulu. Kebetulan waktu itu dari Bangil ada itu memang. Setiap enam bulan sekali dari pihak konveksi itu datang. Kalo tidak ada panggilan ya ditunggu sambil jualan es”. Jelas Bapak Faisol.

Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa dari pemerintah maupun dari lembaga sudah mengadakan pelatihan-pelatihan kerja bagi kelompok penyandang difabel. Akan tetapi walaupun telah dilaksanakannya pelatihan-pelatihan kerja, masih belum adanya tindakan  keberlanjutan seusai pelatihan bagi tenaga kerja kelompok difabel. Penyandang difabel banyak yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan dari pemerintah maupun lembaga, tetapi mereka yang sudah mendapatkan pelatihan pun masih banyak yang tidak memiliki kesempatan bekerja sesuai dengan pelatihan yang didapatkannya. Dapat kita lihat dari Bapak Faisol, beliau sudah memiliki kemampuan dalam hal menjahit, akan tetapi karena tidak adanya arahan atau penyaluran dari pemerintah Jember terkait perekrutan pekerjaan, beliau memutuskan untuk membuka usaha jasa menjahit di rumahnya sendiri sembari menjual minuman es. Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Bagian Keempat Hak Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi Pasal 51 “Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas.”  Dalam pasal tersebut pemerintah dapat lebih menjamin dan memberikan bukti nyata untuk memberikan pelatihan secara berkala dan berkelanjutan sampai pada proses dalam mendapatkan pekerjaan.

Dalam buku “Sosiologi Suatu Pengantar” oleh Soerjono Soekanto, menurut pandangannya Soerjono Soekanto memberikan penjelasan mengenai peran (role) dan kedudukan. Keterkaitan antara peran dan kedudukan tidak dapat dipisahkan, pelaksanaan hak dan kewajiban harus sesuai dengan kedudukannya. Pemerintah memiliki status kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan sudah seharusnya menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang ada yaitu memberikan pelayanan kepada kelompok difabel. Kewajiban dan hak akan terpenuhi apabila peran dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Adanya program pelatihan yang dilakukan bukan hanya sebagai bentuk kepedulian diawal saja, akan tetapi perlu didampingi dan diberikan bantuan setelah pelatihan kerja. Pemerintah perlu menjalankan perannya sesuai dengan peranan yang ada di masyarakat, sehingga dapat menjamin pelatihan dan memberikan pelayanan serta tujuan yang jelas dalam memberikan kesejahteraan bagi penyandang difabel.

Penulis: Adiba Fariza 200910302150, Marta Alviana Rizka 200910302066, Putri Maudi Rahayu 200910302025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline