Ketika saya diterima bekerja, satu hal yang pasti: gaji saya dipotong untuk membayar BPJS Kesehatan.
Awalnya, saya berpikir ini adalah sistem yang luar biasa, sesuai dengan prinsip gotong royong yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Sederhana: yang sehat membantu yang sakit.
Itu adalah filosofi yang kuat, dan saya yakin, jika suatu hari saya membutuhkan, BPJS Kesehatan akan ada untuk saya.
Selama delapan tahun bekerja, Alhamdulilah baru dua kali menggunakan BPJS.
Pertama kali saat demam dan pergi ke puskesmas. Pemeriksaannya cepat, obatnya pun gratis. Namun, staf administrasi mengatakan saya hanya bisa mendapatkan layanan gratis tiga kali, karena faskes (fasilitas kesehatan) saya tidak terdaftar di puskesmas itu. Sejenak saya tertegun---bukankah BPJS Kesehatan bisa digunakan di mana saja?
Waktu berlalu, dan saya pindah tugas ke Banjarmasin.
Rekan-rekan kantor sering bercerita bahwa mereka bisa memindahkan faskes dan mendapat pengobatan gratis di tempat yang baru.
Setelah 1 tahun di Kota Banjarmasin, saya memutuskan ke BPJS setempat, memindahkan faskes ke salah satu puskesmas di Banjarmasin. Petugas BPJS dengan ramah mengatakan, "Faskes Bapak sudah berhasil dipindahkan, tapi baru bisa digunakan bulan depan."
Dengan penuh harapan, tanggal 1 Oktober, saya melangkah masuk ke puskesmas.
Rencana saya hari itu sederhana: periksa gigi, membersihkan karang, dan tambal gigi. Di meja pendaftaran, saya memberikan KTP dan dilayani dengan baik. "Silakan ke lantai dua, Pak, tunggu di ruang kesehatan mulut dan gigi," kata petugas.
Tanpa nomor antrian, saya duduk bersama sekitar 15 orang di ruang tunggu. Satu setengah jam kemudian, giliran saya tiba.