Lihat ke Halaman Asli

Valentine Day, Pentingkah Ditolak?

Diperbarui: 15 Februari 2019   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : kabarkampus.com


Valentine days, perlukah ditolak?

Akhir akhir ini, penolakan Valentine days begitu marak terjadi. Penolakan umum terjadi dilakukan oleh kalangan terpelajar, dari pelajar sekolah menengah sampai mahasiswa. Baru baru ini juga muncul penolakan dari kalangan ormas.  Menjadi pertanyaan adalah mengapa penolakan ini terjadi dalam beberapa tahun ini? Sebenarnya apa yang mereka tolak? Apakah bukan karena budaya nusantara? Atau yang paling "sadis" adalah perayaan yang mengakomodasi kemaksiatan.

Sumber atau sejarah perayaan ini tak perlu saya jelaskan kembali, mengingat pembaca sudah pasti tahu dan bisa melacaknya di mbah google. Namun yang hendak saya jelaskan adalah sebegitu kuatirkan perayaan ini menakutkan? Sehingga perlu di tolak dengan cara berdemo? Baik, pertama saya mau membatasi sudut pandang hanya pada dua hal yaitu kemaksiatan dan pemahaman /pola pikir. 

Mari lah kita bertanya pada diri sendiri, apakah sumber segala kemaksiatan?  Merayakan Valentine? Coklat? Atau merayakan tahun baru masehi? Pertanyaan pertanyaan ini sejatinya saya sampaikan karena ada hubunganya dengan begitu banyaknya penolakan yang setiap mendekati HARI nya menjadi sangat viral. Semua pada berebut panggung untuk untuk menolaknya. 

Lalu apa sumber segala kemaksiatan? Menurut saya sumber kemaksiatan adalah pengumbaran hawa nafsu. Karena hawa nafsu memiliki tempat di dalam diri setiap orang. Apabila tidak di control atau di biarkan maka ia akan liar. Maka bagi saya yang perlu dikuatirkan adalah pengumbaran hawa nafsu yang tidak di kelola dengan baik, bukan orang merayakan Valentine. 

Kalau memang hawa nafsu yang tak terkelola adalah sumbernya, logikanya betul bahwa orang yang merayakan valentine akan cenderung ke arah kemaksiatan, pertanyaannya, apakah hawa nafsu hanya ada saat merayakan Valentine? Tentu tidak!! Hawa nafsu ada di mana mana, maka bisa disimpulkan kemaksiatan juga bisa dimana mana. Apalagi zaman sekarang ada begitu banyak sarana untuk berbuat maksiat.

Untuk itulah ayo belajar bagaimana mengelola pikiran atau membangun pola pikir yang sehat. Pola pikir yang mengarah pada substansi permasalahannya bukan pada selubungnya saja. Akhir-akhir ini yang menggelitik saya saat ini adalah, mengapa sekarang begitu banyak masyarakat yang cenderung berpola pikir sempit. Melihat hanya pada yang terlihat atau tampak saja. Atau mungkin hanya karena perayaan tersebut berasal atau menjadi tradisi agama tertentu, sehingga wajib di tolak. 

Seperti contoh penolakan orang merayakan Tahun Baru masehi. Saya lebih cenderung melihat, mungkin yang dikuatirkan adalah kemerosotan iman, yang cenderung menyerupai kaum lain sehingga ujung ujungnya "kemurtadan". Padahal orang murtad bisa karena banyak hal. Bukan faktor menikmati kemeriahan tahun baru atau merayakan valentine. 

Dari semua penolakan yang umum dilakukan, intinya saya cenderung melihat kekuatiran yang lebih mendekati "kemurtadan". Artinya kalau itu terjadi maka kuantitas/jumlah berkurang, maka akan banyak yang berubah. Yaitu soal superioritas agama. Benarkah demikian?  Atau mungkin saya yang berlebihan.

Bagi saya sah saja, setiap agama melindungi umat nya supaya kuat imannya. Namun bagaimana pun caranya, soal "belief" adalah soal personal yang tidak bisa dikendalikan atau di control dengan aturan atau kampanye penolakan.  Kemudian soal ikut atau tidak ikut merayakan, bagi saja bebas saja. Bagi yang merasa imannya sudah kuat, silahkan ikut, tetapi bagi yang belum merasa kuat, ya tidak usah ikut. Tolong jangan di sweeping! Kasihan yang benar benar ingin mengekspresikan dengan cara mengasihi sesama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline