[caption id="attachment_228540" align="alignright" width="300" caption="kemerdekaan anak sumber: http://libero.bola.net"][/caption] Menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke-65, saya merasa bangga menjadi bagian dari keluarga bangsa Indonesia. Sebagai seorang ibu bersama anak-anak, sangat miris sekali bila melihat kemerdekaan itu belum sepenuhnya menyentuh dunia anak-anak Indonesia. Sejumlah anak seusia antara 9-15 tahun tengah menikmati pertandingan sepak bola. Meski siang yang terik itu cukup menyengat, mereka justru asik bermain bola lapangan dekat rel kereta. Satu anak mendapat bola, ia berusaha lari ke pinggir menghindari lawannya. Setelah itu dioper ke tengah dan oleh teman yang ada di tengah itu terus menggiring bola sambil menghindari lawannya yang berusaha merebut tapi gagal. Bola pun terus digiring hingga ke ujung gawang. Namun meskipun serangan balik dari penjaga gawang dibantu kawan kiper itu tidak mampu menahan tendangan kaki anak berambut kriwil itu dan gooool.... semua teman-temannya bersorak dan kebahagiaan terpancar di wajah anak-anak itu. Gambaran itu sering kita temui di lapangan sepak bola anak-anak. Apa yang saya petik dari peristiwa itu adalah banyak nilai-nilai pendidikan yang sarat pengembangan diri: keceriaan, kebebasan, ketangkasan, kerjasama dan kemerdekaan serta tidak ketinggalan pula nilai persaingan sehat yang dijunjung bersama. Namun begitu anak-anak ada di rumah, keceriaan berubah menjadi muram. Tidak jarang orang tua banyak yang menyerang pribadi anak, dengan bahasa ala mahasiwa yang tengah berdemo, memarahi, memaki dan akhirnya kekerasan anak tidak bisa dihindari. Anak menangis, namun di hatinya merasakan perlawanan yang hebat. Meski kepada orangtuanya tidak berani, namun kepada kawan-kawannya ia lampiaskan kekerasan sejenis. Ditambah lagi dengan lingkungan yang banyak menginspirasi nilai-nilai buruk anak. Televisi, internet dan saat bergaul dengan teman-teman yang bermasalah. Semua itu dapat mematikan nilai-nilai kreasi anak. Masalahpun melebar ke luar, anak-anak mulai cuek dengan keadaan di rumah, setiap ada masalah orangtuanya semakin menjadi-jadi memaki sang anak. Perlawanan anak pun mulai timbul, merasa tidak berharga, merasa tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Cinta yang mestinya didapatkan oleh anak-anak yang ada malah diajari kekerasan. Kalau sudah demikian, maka kekerasan selanjutnya akan berlangsung terus. Akhirnya kasus anak-anak bermasalah terus berlanjut di negeri ini. Berbagai media terus melaporkan peningkatannya, baik dari Komisi Anak maupun media televisi. Anak yang bunuh diri, orang tua membunuh anak-anaknya, atau orang tua mengajak bunuh diri bersama anak, kasus anak dengan narkotika hingga masalah pergaulan bebas anak-anak. Semua itu nyata di depan mata kita dan setiap hari kasus itu terus turun naik mengiringi kerasnya jantung berdetak. Para psikolog sering memberi tips agar orang tua membuka diri dengan lebar-lebar terhadap masalah anak. Dengan kekerasan tidak akan banyak membantu, namun dengan kelembutan dan kasih sayang yang tulus akan menciptakan harmoni keluarga yang menimbulkan efek positif bagi anak-anak. Tidak kalah pentingya, lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar pun mempengaruhi kondisi jiwa anak-anak namun dengan kekuatan cinta dan dan rasa aman di lingkungan rumah akan menciptakan kekuatan bagi perkembangan anak. Meskipun pemerintah kurang peduli dengan masalah anak, biarkanlah. Keluarga dan orang tualah satu-satunya harapan bagi anak agar bisa menikmati kemerdekaan sebagai anak dan modal kemerdekaan yang bisa menimbulkan persaingan, kejujuran, sportivitas, prestasi dan kerjasama dalam menyongsong kemajuan masa depan. salam cinta Sitiz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H