Lihat ke Halaman Asli

STKIP ParacendekiaNW

STKIP Paracendekia NW Sumbawa adalah perguruan tinggi keguruan yang mengelola dua program studi, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Matematika (jenjang Sarjana)

Kucing

Diperbarui: 27 Desember 2018   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Cerpen Oleh:

Yeni Karlina

Mahasiswa STKIP Paracendekia NW Sumbawa

Waktu sudah berlalu tiga hari tiga malam, di malam yang sepi sunyi. Bntang-bintang yang biasanya terlihat memancarkan cahaya indahnya saling berkedip dan saling menyapa, malam ini tak terlihat bahkan satupun. Bulan pun tak menampakan wajahnya. Langit terasa hampa. Hanya warna hitam pekat dari kegelapan yang mengisi langit. Malam itu seakan menggambarkan hati seorang ibu yang kehilangan buah hatinya yang baru ia lahirkan 6 bulan yang lalu. Kesedihan dari sang ibu  kucing dirasakan oleh pepohonan di sampingnya, yang bahkan tidak bergerak sedikitpun seakan tak ingin mengganggu kegundahan hati dari sang ibu.

Sang ibu duduk di bawah pohon yang cukup rindang meratap kesedihan yang ada dalam hatinya, sambil mengingat kenangan terakhirnya bersama sang anak yang satu minggu lalu diajak berjalan-jalan memperkenalkan dunia itu seperti apa. Di samping jalan sang ibu meminta anaknya untuk menyaksikan berbagai macam isi bumi ini. "Lihatlah Odi sayang inilah dunia itu, penuh dengan penghuni. Ada manusia, tumbuhan dan hewan seperti kita," kata sang ibu dan begitulah ibunya memanggil sang anak. "Ada yang harus kamu ingat nak, jangan dekat-dekat dengan manusia," larang sang ibu. "Mengapa, Bu?" tanya Odi penasaran. "Karena mereka membenci kucing nak, mereka selalu mengira bahwa kucinglah yang sering mencuri lauk mereka seperti ikan dan lain-lain," jawab si ibu. "Oh iya, Bu," respon si anak.

Mereka berjalan mengikuti alur jalan di tengah teriknya sang surya yang teriknya seakan membakar kulit. Untunglah jalan yang mereka telusuri banyak pepohonan yang rindang, jadi mereka bisa terlindung dari sang surya siang itu. Tapi tiba-tiba di tengah jalan sang ibu berhenti, "Mengapa, Bu?" tanya Odi penasaran mengapa ibunya tiba-tiba berhenti di tengah jalan. "Kita cari jalur lain nak, kita tidak bisa melewati jalan ini," jawab sang ibu. "Mengapa Bu, bukankah rumah kita dekat jika lewat jalan sini?" tanya Odi lagi. "Lihatlah ke sana, nak," kata sang ibu sambil mengarahkan pandangannya ke jalan negara yang dikerumuni banyak orang. "Di sana banyak manusia yang berjalan sana sini, seperti gerombolan semut yang memenuhi jalan. Kita tidak bisa lewat ke sana. Jika kita tetap lewat ke sana, kita akan mati terinjak oleh kaki-kaki lelah mereka, yang tidak akan pernah perduli apa yang mereka injak," tambah sang ibu. "Bukannya ibu selalu bilang kita harus saling memahami satu sama lain di muka bumi ini?" tambah sang anak. "Ada beberapa manusia yang perduli dengan hewan seperti kita dan ada juga yang tidak. Makanya ibu sebelumnya bilang jauh-jauhlah dari mereka, nak. Mungkin manusia yang kamu temui itu bukannlah orang baik," jawab sang ibu. Merekapun mengambil jalur lain untuk sampai ke tempat mereka, tanpa harus melewati jalan yang dituju tadi. Mereka melewati jalan berbatu mengambi jalan dengan menyeberangi sungai kering yang menandakan tidak ada kehidupan sama sekali di sana. Hanya kerikil-kerikil dan bebatuan besar yang ada.

Siang yang panas itu membuat mereka kelelahan. Batu-batu kerikil yang terkena sang surya yang sangat panas saat itu, jika diinjak kaki, rasanya seperti di atas bara api. Walau merasa lelah dan letih, langkah mereka tetap berlanjut. Sekali-kali mereka istrahat sebentar melepas lelah. Jalan yang mereka tempuh dua kali lebih jauh dari jalan menyeberangi trotoar. Hanya karena ingin menghindari keramain sang ibu mengambil resiko dengan sang surya yang mempersembahkan udara yang begitu panas saat itu. Sang ibu berjalan terlebih dahulu dan Odi mengikuti dari belakang.

Dalam perjalanan pulang, Odi tak berhenti berpikir dan bertanya-tanya tentang pernyataan sang ibu yang mengatakan manusia itu jahat, sedangkan dari yang Odi lihat wajah-wajah manusia yang dia lihat tadi tidaklah menampakkan maupun menggambarkan sifat jahat dari mereka. "Apakah orang-orang itu adalah orang yang baik, karena kata ibu tidak semua manusia itu jahat? Bagaimanakah rupa manusia yang jahat itu? Mengapa mereka selalu menyalahkan kucing untuk segala sesuatu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menghantui perjalanannya sehingga teriknya sang surya tidak berpengaruh padanya, dan sampai tak sadar mereka telah tiba di tempat tinggal mereka.

Mereka tinggal di sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan orang, jauh dari jalan raya dan kerumuhan manusia di tengah hutan kecil di tepi kota. Mereka tinggal dengan banyak kucing di sana, hidup dengan damai karena jauh dari spesies lain terutama manusia. Mereka hidup rukun, tidak ada yang mengacau hidup mereka.

Pada suatu malam dengan langit yang bertaburan bintang-bintang berkelap kelip seakan mengedipkan mata, saling tersenyum dan menyapa satu sama lain. Hal ini membuat bulan cemburu dan tak muncul di malam itu. Angin sepoi-sepoi menyentuh kulit sang kucing kecil yang menikmati malam yang indah itu. Tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari sang teman, "Odi! Kau sedang berkhayal apa, ku panggil dari tadi kamu tak menyahut?" kata temannya yang sedari tadi ternyata memanggil-manggilnya. "Maaf maaf, aku sedang asyik menatap keindahan langit malam ini. Lihatlah mereka, saling mengedipkan cahaya mereka, seraya mereka sedang bercanda gurau satu sama lain," terangnya. Tapi jangan seperti itu juga, temannya panggil tak kau hiraukan," gerutu temannya yang bernama Oji. "Oh ya, tadi kau diajak ibumu keliling kota ya?" tanya nya penasaran. "Ya, di sana sangat ramai, aku baru tahu ternyata dunia ini penuh dengan makhluk, bukan hanya seperti kita saja," jawabnya. "Berarti pasti kamu sudah ketemu dengan manusia, ya?" tanya Oji lagi. "Aku hanya melihatnya dari jauh saja," jawabnya lagi. "Mengapa? Pasti karena muka-muka mereka seram, ya? Jika begitu, pantaslah ibuku melarangku untuk keluar dari lingkungan kita ini?" kata Oji. "Tidak, itu tidak benar. Mereka tidak bermuka seram, mereka tertawa satu sama lain. Mengobrol dan saling menyapa, wajah mereka tidaklah seperti yang kita bayangkan selama ini," sanggahnya. Belum sempat Oji menjawabnya lagi, ibu Odi datang memanggilnya untuk segera masuk ke rumah, karena sudah tengah malam. Merekapun kembali ke tempat masing-masing.

Sampai di tempat tidurnya, Odi belum bisa lepas dari pikirannya soal manusia. Dia masih ingin pergi ke tempat yang dia kunjungi tadi siang. Sepanjang malam dia memikirkan hal itu dan tidak ia sadari bahwa fajar telah tiba. Saat mendengar sang ayam hutan mengeluarkan suara khasnya menandakan fajar telah tiba, Odi yang baru yang belum lama menutup matanya terbangun.

Odi keluar dari rumahnya, dengan suasana yang masih gelap dengan tetesan embun pagi dan dari kejauhan matanya memandang sedikit demi sedikit cahaya dari sang mentari pagi yang menampakan dirinya dari ufuk timur di balik gunung yang tinggi-tingi. Mata memandang terasa sejuk dengan persembahan yang diberikan pagi hari itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline