Pernakah kita bahagia mendapatkan nilai ujian sempurna karena kita yakin akan kemampuan yang kita miliki? Atau merasa ini hanyalah sebuah keberuntungan? Hal tersebutlah yang termasuk dalam locus of control dalam diri kita. LOC tentunya dipengaruhi oleh beragam faktor. Mari simak penjelasan lebih lanjut dan tentukan manakah yang termasuk dalam dirimu!
Pernahkah kamu mendengar kalimat locus of control ? LOC atau locus of control merupakan salah satu cabang teori pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Julian Rotter tahun 1966. Rotter adalah seorang psikolog asal Amerika yang lahir di Brooklyn, New York pada tahun 1916. Teori ini biasanya digunakan untuk menentukan sebuah keputusan yang akan diambil oleh seorang individu. Semakin ia meyakini bahwa "usaha tidak akan mengkhianati hasil", maka ia akan semakin giat untuk berusaha. Begitu juga sebaliknya, apabila individu mempercayai kata "keberuntungan hanya ada di tangan orang yang tepat", maka usaha yang dikeluarkannya akan dirasa sia-sia dan ia lebih memilih untuk menunggu keajaiban tersebut datang. Seperti yang disampaikan dalam (Sugma, 2017) bahwa locus of control adalah faktor yang mendorong motivasi untuk melakukan sesuatu pada seseorang yang bersumber dari dalam ataupun dari luar diri. Maka dapat disimpulkan LOC merupakan sebuah cara pandang kita terhadap suatu peristiwa dan menentukan dimana letak kekuatan kita. LOC terdiri dari 2 konsep, dimana tiap konsep memiliki karakteristik tersendiri, diantaranya adalah,
- Locus of Control internal
- Tipe ini menekankan orientasinya pada keberhasilan dan usaha yang telah dilakukan. Mereka meyakini bahwa hal-hal positif yang terjadi bersumber dari dirinya sendiri. Karakteristik lain yang dimiliki ialah, gemar bekerja keras; insiatif yang tinggi; gemar mencoba berpikir secara efektif; dan selalu berusaha dalam pemecahan suatu masalah
- Locus of Control eksternal
- Tipe ini menekankan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi di luar kontrol kita. Mereka adalah pribadi yang cenderung kurang mandiri dan merupakan pribadi yang kurang menyadari tentang keutamaan bekerja keras serta malasnya dalam menyelesaikan suatu masalah karena keyakinannya terhadap control dari faktor luar dirinya, seperti keberuntungan, lingkungan, kesempatan, takdir, ataupun segala hal yang berada di luar dugaan mereka (Safitri, 2019).
Kedua hal tersebut tentunya pernah kita alami dan rasakan keduanya. Namun, apakah faktor utama dalam pembentukan kontrol diri kita bersumber dari pola asuh orang tua?
Perilaku seseorang di masa kini tentunya berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Orang tualah yang bertanggung jawab dalam pemilihan pengalaman belajar bagi anaknya, termasuk dalam hal mengasuh dan memberikan batasan. Terdapat 3 jenis pola asuh orang tua yang dijabarkan, yaitu sebagai berikut :
- Gaya otoriter
Orang tua cenderung mengontrol dan menerapkan batasan-batasan kaku serta kedisiplinan untuk menghukum dan membenarkan perilaku anak yang salah
- Gaya otoritatif
Orang tua dengan gaya otoritatif menerapkan batasan yang tegas terhadap anaknya namun mereka juga mendukung dan tanggap terhadap perkembangan anak
- Gaya permisif
Orang tua cenderung bebas dan terbuka terhadap apa yang akan dilakukan oleh anak. Mereka tetap menekankan kasih sayang namun tetap membebaskan pilihan anak
Dalam (Carton et al., 2021), sebagian besar hasil penelitian terdahulu menjelaskan keterkaitan antara pola asuh yang keras dengan LOC eksternal anak dan sebaliknya, pola asuh yang hangat dan suportif berhubungan dengan LOC internal anak. Namun terdapat penelitian menunjukkan dari budaya non-Barat bahwa pola asuh yang keras tetap berpotensi membangun LOC internal anak apabila anak beranggapan bahwa hal tersebut sebagai dukungan. Selain itu, McClun dan Merrell (1988), menjelaskan bahwa anak dengan pola asuh otoritatif memiliki konsep diri yang positif serta LOC internal yang tinggi dibandingkan dengan pola asuh otoriter. Orang tua yang otoritatif dianggap dapat memfasilitasi lingkungan yang mendukung untuk anak mengalami pengalaman belajar dalam perkembangannya. Sedangkan orang tua yang otoriter menghalangi pengalaman belajar pada anak karena kecenderungan mengendalikan kehidupan anak mereka.
Kurangnya lingkungan yang hangat dan kasih sayang, serta kurangnya perhatian yang diberikan pada sisi emosional anak, berkaitan sangat erat dengan LOC eskternal anak. Selain itu, keterlibatan yang terlalu banyak hingga cenderung mengendalikan kehidupan anak, akan memberikan pengajaran bahwa hasil yang didapatkan dari suatu hal bukan sebab dari perilaku mereka, namun akibat dari usaha orang lain. Sedangkan keterlibatan yang sedikit dari orang tua, menyebabkan anak kehilangan dukungan untuk memandu sebuah perilaku dan hasil yang diakibatkan dari perilaku tersebut, serta mendorong anak untuk mempelajari cara mengatasi kegagalan sendiri, sehingga hal tersebut mendasari aktifnya LOC internal pada seorang anak.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa penjelasan diatas bahwa locus of control merupakan control diri seseorang terhadap cara pandangnya menghadapi suatu hal dalam hidup, ada yang bersifat internal dan eksternal. Hal tersebut tentunya disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak. Pola asuh yang cenderung mengekang dan mengontrol diri anak berpengaruh pada locus of control eksternal seorang anak dan begitu juga sebaliknya, pola asuh yang bebas dan minimnya kontrol pada perilaku anak akan berakibat besar terhadap locus of control internal anak.
DAFTAR PUSTAKA