Bagaimana kau akan menulis sesuatu tentang buku yang baru selesai kau baca; ketika buku itu adalah karya seseorang yang sangat-sangat kau kagumi. Pertimbangan pertama yang muncul adalah paling isi tulisan hanya akan berupa puja-puji. Kedua, perasaan inferior dan tak layak untuk menuliskan sesuatu tentang karya itu.
Pergulatan macam itulah yang saya alami ketika hendak membuat tulisan atau lebih tepatnya curhat tentang novel “Hujan Bulan Juni” – selanjutnya disebut HJB – karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Hanya butuh dua hari untuk melahap novel yang baru saja diterbitkan Gramedia ini. Tapi butuh setidaknya dua kali waktu tidur malam untuk memeras otak mencari pertimbangan yang pas untuk mengatakan sesuatu usai membaca novel ini.
Baiklah! Saya ingin segera memulainya. Meski hanya ‘curhat’ saya pikir tidak salah kalau saya mempertimbangkannya secara baik, tepat, dan logis sebelum membubuhkan isi hati saya di ini. Kita mulai sekarang.
Semua pencinta sastra pasti mengenal puisi yang tak lekang kagum segala jenis generasi yaitu “Aku Ingin”. Puisi “Aku Ingin” ditulis SDD pada 1989. Di tahun ketika SDD menulis puisi ini, saya masih sangat kecil dan belum mengenal tulisan. Supaya tidak meraba-raba seperti apa puisi itu bagi mereka yang belum pernah membacanya atau sudah membacanya tapi lupa, baiklah saya catumkan lagi di sini.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..
Aku ingin mencintaimu
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
(1989)
Saya kenal puisi ini baru beberapa tahun belakangan, ketika saya mulai menggandrungi dunia puisi. Bersamaan dengan itu, “Hujan Bulang Juni”, “Pada Suatu Pagi Hari” adalah puisi-puisi lain SDD yang hampir tiap kali saya rindu untuk membacanya, mendengarkan musikalisasinya, juga bergelut dalam dimensi dan aura kata-katanya.
Ketika informasi mulai beredar bahwa puisi “Hujan Bulan Juni” akan ‘dipanjangkan’ jadi novel, sebagai seorang ‘pemuja’ SDD, tentu tak sabar ingin membacanya. Karena saya belum punya duit untuk membelinya, kemurahan hati seorang teman untuk meminjamkannya adalah berkah yang luar biasa, apalagi di Bulan Puasa.
Sebagai Puisi