Lihat ke Halaman Asli

Upaya Solutif Menyikapi Kekeringan dan Ketersediaan Air Layak Kosumsi di Kecamatam Wawo, Kabupaten Bima NTB

Diperbarui: 17 Desember 2022   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Potret Kekeringan dan Ketersediaan Air Layak Kosumsi di Desa Pesa Kecamatan Wawo, Bima NTB/dokpri

Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk tertinggi keempat di dunia dibah negara China, India dan Amerika serikat dengan jumlah penduduk 279,36 juta orang dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan pertanian, energi, industri, sektor bisnis, dan pemukiman membuat permintaan air bersih makin meningkat. Hal itu menyebabkan perilakuku ekploitasi sumberdaya alam (SDA) yang berlebihan, sehingga akan mempengaruhi fungsi lingkungan yang ujungnya bencana lingkungan, contoh terakhir ketersediaan sumberdaya air di Bima yang terus menyusut.

Salah satu akibat dari kegiatan ekploitasi SDA yang melebihi daya dukung lingkungan adalah kerusakan hutan di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat yang berdampak pada menyusutnya jumlah mata air. Data BKPH Maria Donggo masa, dari 700 mata air yang menyebar di Kota/Kabupaten Bima, kini telah menyusut menjadi 200 mata air dan sisanya pun dalam kondisi kritis. Menyusutnya 500 mata air yang disebabkan oleh hilangnya fungsi hutan yang di akibatkan oleh pembukaan jalan baru untuk usaha tani dan ekonomi.

Berkurangnya mataair di Wawo merupakan akibat dari kegiatan penebangan liar hutan sebagai usaha tani tanpa adanya tindakan pengembaian fungsi hutan secara efektif. Masyarakat Wawo sebagian besar menjadikan kegiatan bertani sebagai ladang bisnis untuk mencari keuntungan yang maksimal, tanpa memikirkan bagaimana bagaimana dampak dari penggundulan hutan secara jangka panjang. Andaikan ini tidak dikendalikan dengan sesegera mungkin, bagaimana jika 5 tahun kedepan, masih adakah mata air ? atau akan berubah menjadi air mata ?, Apa yang terjadi ? sementara ditambah lagi dengan kerentanan bima terhadap perubahan iklim lokal.

Tidak heran, Wawo menjadi kecamatan dengan indeks kekeringan yang tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Ketersediaan air bersih hanya mengandalkan satu atau dua mataair induk yang tentunya tidak akan mencukupi kebutuhan air masyarakat. Na’asnya baik pemerintah maupun masyarakatnya sendiri hanya mengandalkan pasokan air bersih dari sumber mataair yang muncul di permukaan, hanya sebagian kecil yang memanfaatkan air tanah yang ada dibawah permukaan.

Padahal, ketersediaan air bawah permuaan jauh lebih berlimpah dibandingkan dengan yang muncul dipermukaan. Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR 2020 menyatakan bahwa kuantitas air yang ada di daratan didominasi oleh air bawah permukaan tanah yaitu sebesar 98% yang tersembunyi dalam pori-pori batuan dan 2% sisanya terlihat sebagai air di sungai, danau dan reservoir. Ketersediaan air layak dikosumsi oleh manusia hanya sebesar 1%  dan selebihnya 99% dalam bentuk air laut yang tidak layak konsumsi.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh penulis, bencana kekeringan di Wawo atau Bima pada umumnya bukan merupakaan tugas pemerintah daerah saja, namun usaha bersama yang saling bersinergi antara Pemerintah Daerah, harapannya dengan APBD yang terbatas dapat melakukan koordinasi dan kerja bersama para pemangku kepentingan dan menguatkan peran dari berbagai pihak terutama masyarakat dan generasi usia dini. Banyak cerita kesuksesan dalam mengembalikan fungsi hutan jika ada political will Pemerintah Daerah dan kesadaran masyarakat, oleh karena merupakan kebutuhan akan keberlanjutan kehidupan. Masyarakat telah menunjukannya melalui gerakan “ Mbojo Hijau Kembali (MHK), yang setidaknya sebagai pemicu bagi gerakan-gerakan lain.

Solusi krisis sumberdaya air di Wawo salah satunya dapat diatasi dengan pendekatan ilmiah yaitu pengaplikasian ilmu geofisika untuk mendeteksi akuifer (rumah) air tanah yang ada dibawah permukaan. Informasi yang diperoleh dari pengukuran geofisika tersebut akan menggambarkan kedalaman dan ketebahan lapisan air bawah permukaan. Berdasarkan data tersebut dapat dijadikan acuan dalam ekploitasi air bawah permukaan melalui pengeboran.

Selain itu, krisis sumber daya air dapat dilakukan dengan langkah-langkah kecil melalui upaya gerakan penghematan pemanfaatan air yang dimulai dari yang paling sederhana seperti pemakaian keran air, aktifkan embung dan telaga sebagai sarana resapan air dimusim hujan, melakukan rehabilitasi sumber mata air melalui konservasi disekitarnya dengan memilih tanaman endemik lokal serta konservasi hutan secara menyeluruh yang dilakukan secara terukur dan terencana.

Hal yang tidak kala pentingnya adalah membentuk gerakan sosial lingkungan yang lebih kuat untuk mengembalikan fungsi lingkungan di Bima, gerakan ini tidak hanya berbentuk dalam gerakan moral akan tetapi harus melakukan action. Dalam konteks ini perjuangan untuk melestarikan lingkungan bukan hanya bersifat defensif yang hanya ‘bergerak’ ketika lingkungan alam sudah mulai dirusak, tetapi juga harus bersifat ofensif untuk mengoreksi segala macam kebijakan daerah yang diproyeksikan akan memiliki dampak terhadap kerusakan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline