Rekomendasi kampus yaitu legitimasi fundamental aspek pendidikan dan kesejahteraan perlu dielaborasi
Oleh:
Dr. Ahmad Afif, S.Pd, M.E.
Dosen
Esensi pendidikan perguruan tinggi di Indonesia kini semakin tidak terarah. Hal ini sesuai dengan realitas yang sudah melebar jauh dari amanat UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada Pasal 1 ayat 1 dan 2 telah dijelaskan tentang yurisprudensi secara gamblang bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan ayat 2 mengatakan bahwa Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Pasal tersebut telah memberikan insight kepada kita bersama bahwa esensi pendidikan khususnya perguruan tinggi adalah pengembangan potensi setiap civitas akademika. Demikian pula, aspek manajerial juga tergolong urgen pada nilai kebudayaan yang ada di Republik kita.
Melalui dua amanat UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut, Perguruan tinggi perlu membuat second priority kesejahteraan dalam pola pendidikannya. Civitas akademika kebanyakan cenderung memberikan segala daya upaya dengan major priority berupa kesejahteraan. Memang semuanya bukan hanya masalah uang, namun segalanya butuh uang. Jargon tersebut sebetulnya sudah mewakili keluh kesah civitas akademika atas dinamika yang berada dalam ruang pendidikan kampus. Sudah saatnya para dosen memberikan daya dan upayanya untuk memberikan yang terbaik terhadap bangsa melalui karya yang berorientasi terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi. Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi yang pertama kalinya memberikan penjelasan secara terperinci tentang hal tersebut. Penjelasan dari tujuan perguruan tinggi diantaranya membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila, menyiapkan tenaga kerja yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi, serta melakukan penelitian dan usaha kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya serta kehidupan kemasyarakatan.
Maksimalisasi daya dan upaya dalam mencapai Tri Dharma akan membuat multiplier effect, salah satunya kesejahteraan. Bisa kita berkaca pada negara yang memiliki kampus hebat. Singapura mempunyai kampus hebat dengan peringkat 19 dunia versi Times Higher Education, 2024. Dalam ulasannya, National University of Singapore mempunyai 40.000-an mahasiswa dengan berbagai fasilitasnya. Indeks skor tertinggi justru didapatkan dari industri yang ada di dalam lingkungan kampus serta kerja sama dengan lembaga lainnya dengan skor rata-rata 100.0. Sementara itu, indeks skor tertinggi kedua ada pada aspek research quality. Kesimpulan ini menjadi dasar dengan tingkat kemajuan negara Singapura. Yahoo finance, 2024 melansir bahwa Singapura menjadi negara maju berperingkat 8 di dunia. Hal ini didasarkan dengan faktor Human Development Index dan GDP Per kapita dengan total skor HDI 12 dan GDP $82,807. Hal ini layak kita bandingkan fenomenanya dengan studi kasus yang berada di Indonesia. Peringkat kampus tertinggi yaitu UI dengan peringkat 573 versi Versi Webometrics 2024. Sedangkan Indonesia berperingkat 19 dalam kategori negara berkembang di dunia versi World Population Review, 2024. Oleh karenanya, pembenahan peringkat perguruan tinggi sesungguhnya adalah ikhtiar dalam proses kemajuan bangsa ini.
Faktanya, beberapa kasus di perguruan tinggi yang ada di negara kita ini semakin kompleks. Banyak kasusnya daripada laporan progresnya. Kasus tersebut berupa korupsi, kecurangan penerimaan mahasiswa baru, plagiasi, pelecehan, jual beli ijazah, sampai pada kasus ilegal seperti perdagangan orang. Dilansir dari sumber kredibel, 2022 memberitakan bahwa kasus korupsi oleh Rektor Universitas di daerah Lampung bukanlah kasus pertama yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan perguruan tinggi. Ada beberapa perguruan tinggi yang pernah terlibat dalam kasus korupsi. Kasus plagiasi atau pemalsuan karya ilmiah juga menjadi masalah serius. Dilansir dari sumber kredibel, 2018 telah menemukan sedikitnya 4 akademisi yang terjerat kasus plagiasi. Tidak tanggung-tanggung, 2 diantaranya menjiplak artikel dari beberapa penulis pada media tertentu yang telah terpublikasi sebelumnya. Selanjutnya, 2 penulis lainnya menjiplak beberapa jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional dalam pembuatan karya ilmiah mereka. Kasus pelecehan terhadap civitas akademika baru-baru ini telah menggemparkan Indonesia. Pasalnya bahwa hal ini dilakukan oleh seorang rektor salah satu kampus besar di daerah Jakarta. Kasus ini berawal dari pengakuan karyawan pada kampus tersebut yang telah dilecehkan oleh rektor tersebut. Tidak kalah besarnya, kasus perdagangan orang baru-baru ini telah melibatkan 33 perguruan tinggi dengan modus Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dengan salah satu perusahaan di Jerman. Melihat fakta tersebut bahwa kurikulum yang mengajarkan etika seharusnya harus masih diajarkan di kalangan perguruan tinggi, bukan hanya selesai di SLTA.
Rekomendasi kampus yaitu legitimasi fundamental aspek pendidikan dan kesejahteraan perlu dielaborasi. amanat UU RI Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi perlu dibuat instrumen khusus layaknya KPI (Key Performance Indicator) Perusahaan di dalam ekosistem kampus. KPI ala Perguruan Tinggi akan membiasakan seluruh civitas akademika untuk rajin menyesuaikan dirinya melalui amanat UU serta esensi dari pendidikan yang dielaborasi dengan tingkat kesejahteraan. Tentu hal ini akan terasa sulit bagi kampus swasta yang lagi berjuang. Akan tetapi, melalui pola ini setidaknya antara kampus dengan Pendidik dan Tenaga Pendidikan akan terjadi sinkronisasi secara adil. Jadi, Perguruan Tinggi perlu mengesampingkan kesejahteraan tanpa indikator yang tidak sesuai dengan esensi dan tujuan pendidikan.
Depok, 28-04-2024