Lihat ke Halaman Asli

Jurnalisme Patungan (Crowdfunding Journalism)

Diperbarui: 22 Oktober 2018   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: medium.com

Berkembangnya teknologi informasi membuat segala hal yang berkaitan dengan informasi berubah. Masyarakat yang dahulu hanya sebagai konsumen berita saat ini juga dapat membuat dan menyebarkan informasi yang dia punya lewat berbagai platform. Masyarakat juga dapat mengkritisi kejadian-kejadian yang menurut mereka tidak benar. Akhirnya banyak terjadi banjir informasi di masyarakat. 

Berita hoax, fake news, diinformasi, yang kemudian membuat masyarakat itu sendiri sulit untuk membedakan mana berita yang berdasarkan fakta dan mana yang bohong. 

Contoh kasus terbaru adalah hoax tentang pengeroyokan Ratna Sarumpaet. Berita tersebut sempat menghebohkan masyarakat, bahkan sejumlah politisi pun ada yang membuat konfrensi pers untuk kasus tersebut. Belakangan baru diketahui bahwa berita itu hanya hoax. 

Ratna Sarumpaet sendiri mengakui bahwa berita tersebut hanya kebohongan yang ia buat. Hoax yang membohongi hampir satu negara tersebut kemudian membuat heboh jaga media massa dan dunia nyata. Di media massa banyak tagar dan meme yang dibuat khusus untuk menanggapi berita tersebut. 

Di dunia nyata, para politisi yang awalnya mengecam kasus pengeroyokan tersebut, setelah tahu bahwa itu berita bohong, beramai-ramai meminta pihak kepolisian untuk mengusut kasus hoax tersebut secara tuntas.

Teknologi informasi yang berkembang juga berdampak pada jurnalisme. Praktek jurnalisme yang dahulu selalu identik dengan media cetak sekarang merganti dengan media daring. Hal tersebut membuat beberapa media cetak mengalami penurunan oplah produksi dan bahkan ada yang sampai ada yang tutup.

 Hal baiknya, saat ini masyarkat dapat mengkritik media massa lewat sosial media ataupun berbagai platform yang mereka gunakan. Jika jurnalisme disebut sebagai pilar ke empat demokrasi, masyarakat lewat platform yang mereka gunakan dapat disebut sebagai pilar kelima. Tugas mereka, mengawasi kerja-kerja jurnalisme yang menyimpang dari kerja jurnalisme yang seharusnya sesuai kaidah jurnalisme itu sendiri.

Banyak media saat ini dikuasai oleh perseorangan, karena pemiliknya dimiliki oleh seseorang acap kali pemilik tersebut memanfaatkan medianya untuk kepentingannya sendiri. Contohnya saja MNC milik Harry Tanoesoedibjo atau TV One milik Aburizal Bakrie, dua media tersebut sering kali dimanfaatkan oleh pemiliknya. Pada 12 Mei 2017, KPI pusat mengeluarkan surat teguran pada 4 televisi swasta yaitu RCTI, MNC TV, I-News TV, dan Global TV. 

Keempat media tersebut adalah milik Harry Tanoesoedijo. KPI menegur empat stasiun televise tersebut lantara menyiarkan mars Partai Perindo yang dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Belum lagi dengan produk-produk jurnalistik yang tidak jarang merupakan pesanan dari pemilik media.

Dengan adanya kasus-kasus semacam itu media atau jurnalisme tidak lagi digunakan untuk kepentingan public luas tetapi untuk kepentingan pemilik media. Lantas apa yang dapat dilakukan? Crowdfunding journalism, atau jurnalisme patungan, menurut saya menjadi salah satu cara untuk mengatasinya. Cara tersebut sudah pernah dilakukan oleh beberapa media diluar negri, di Indonesia Tempo pernah melakukannya dengan program BONGKAR! -- nya. 

Tempo bekerja sama dengan situs change.org sebagai situs petisi online dengan lebih dari empat juta pengguna dan kitabisa.com sebagai situs crowdfunding. Model yang dilakukan tempo tersebut bertujuan agar agenda-agenda yang ada di media massa yang selama ini dikuasai oleh pemilik modal, kembali kepada publik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline