Ada sebuah cerita yang cukup menarik pada waktu Perang Dunia ke-2. Cerita ini melibatkan seorang tentara Jepang yang bernama Hiroo Onoda. Dia menjadi terkenal bukan karena kisah heroiknya yang luar biasa. Dia menjadi terkenal karena bersembunyi di sebuah gua di Filipina selama 29 tahun. Tindakan ini dilakukan akibat ketidaktahuannya bahwa peperangan sudah selesai. Dia berpikir bahwa peperangan masih terus berlangsung. Upaya beberapa orang yang mencoba meyakinkannya bahwa peperangan sudah selesai ternyata hanya berujung pada kegagalan. Dia merasa terancam apabila ada seseorang yang masuk ke dalam gua yang dimaksud.
Sampai suatu ketika, sebuah upaya persuasif dari mantan jenderalnya ternyata membuahkan hasil. Dia datang dan memastikan bahwa peperangan sudah lama usai dan kini waktunya untuk pulang dan kembali hidup normal. Saat itulah Onoda keluar dari dalam gua, dia pulang dan menjalani kehidupan yang normal sampai meninggal pada usia 91 tahun.
Dia menghabiskan 29 tahun hidupnya untuk memercayai sesuatu yang sebetulnya tidak terjadi. Hal itu sangat menentukan apa yang dia lakukan. Dia memilih untuk bersembunyi karena dia merasa sebagai satu-satunya orang Jepang yang masih ada di daerah itu. Dia merasa dikelilingi oleh musuhnya selama 29 tahun.
Dia telah menghabiskan hidupnya dengan percuma. 29 tahun hanya dia habiskan di dalam ketakutan dan perasaan-perasaan negatif lain yang menghantui dirinya. Semua ini terjadi karena apa yang ada di dalam pikirannya. Semuanya terjadi karena ditentukan oleh apa yang dia pikirkan. Sayangnya, apa yang dia pikirkan adalah sesuatu yang tidak benar.
Saya percaya kehidupan kita dan keluarga kita juga sangat ditentukan oleh apa yang kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan akan memengaruhi perasaan, keputusan, perkataan, dan tindakan kita. Karena itu sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana prinsip berpikir yang benar dalam kehidupan pribadi maupun keluarga. Apa yang kita pikirkan seharusnya adalah apa yang benar. Teks yang mendasari ulasan selanjutnya dalam artikel ini bersumber dari Filipi 4:8.
Apa yang disampaikan dalam teks ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hidup dalam kesatuan (4:1-3), sukacita (4:4), kebaikan (4:5), dan kedamaian (4:6-7) sangat dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan (4:8). Pikiran seseorang menentukan perasaan, perkataan, perbuatan, dan pergaulan seseorang. Semua dimulai dari pikiran.
Sayangnya, banyak keluarga kurang mengindahkan prinsip ini. Para orang tua lebih tergoda untuk menerapkan ratusan aturan bagi anak-anak tanpa menjelaskan hubungannya dengan Injil Yesus Kristus. Mereka terjebak pada legalisme tanpa Injil. Anak-anak juga lebih memilih untuk mengungkapkan ketidaksetujuan dan protes mereka terhadap orang tua melalui tindakan-tindakan yang negatif. Tidak ada upaya untuk mengubah cara berpikir pihak lain. Jika ini yang dilakukan, pemulihan dalam keluarga akan sulit dicapai.
Keharmonisan keluarga akan tercipta apabila semua memiliki pemikiran yang sama. Bukan berarti harus setuju dalam setiap hal. Kesatuan pemikiran tidak identik dengan kesamaan ide atau pendapat. Yang dipentingkan lebih ke arah cara berpikir, bukan isi pikiran. Pemikiran yang sama seringkali membawa pada pikiran yang sama. Dalam teks kita hari ini Paulus mengajak jemaat Filipi untuk memikirkan hal-hal yang positif. Bagaimana seharusnya kita berpikir? Apa saja yang perlu kita pikiran?
Bagaimana seharusnya kita berpikir?
Terjemahan LAI:TB "pikirkanlah" di akhir ayat ini perlu dipahami secara lebih saksama. Ada banyak makna yang terkandung pada kata "memikirkan". Sekalipun beberapa versi bahasa Inggris (NIV/ESV/KJV) tampaknya sepakat dengan LAI:TB, arti kata "logizomai" dalam teks Yunani lebih ke arah "mempertimbangkan". Kata ini tidak dipahami hanya sebagai tindakan akhir atau aktivitas intelektual untuk mengingat dan menggumulkan secara kognitif. Dengan kata lain, Paulus mengajak kita benar-benar mempertimbangkan semua itu sebagai nilai-nilai di dalam kehidupan kita. Hal ini akan memengaruhi perasaan, keputusan, perkataan, dan tindakan kita. Pertimbangan menentukan keputusan dan tindakan seseorang.
Sebuah contoh yang jelas disediakan dalam Filipi 3:13. Berbeda dengan para pengajar sesat yang menilai diri mereka sempurna, Paulus mengakui "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap (logizomai), bahwa aku telah menangkapnya". Pemikiran seperti inilah yang membuat dia mampu berkata: "aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku". Seandainya dia menganggap diri sudah sempurna, dia tidak akan bersusah-payah melakukan semuanya ini. Tindakan Paulus dipengaruhi oleh apa yang dia pertimbangkan. Dengan kata lain, kata "mempertimbangkan" dalam Filipi 4:8 tidak seharusnya dipahami sekadar sebagai pemikiran sepintas yang lantas dilupakan. Hal ini juga tidak boleh dimengerti sebagai persetujuan intelektual yang tidak berdampak apa-apa di dalam hidup kita.