Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris merupakan respon dari mayoritas warga dunia bahwa semua manusia dilahirkan dengan kebebasan dan memiliki kesamaan dalam derajat serta di depan hukum.
Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi dan mengadopsi DUHAM dalam UUD 1945. Bahkan, sebelum DUHAM lahir, para pendiri negeri ini sudah jauh lebih dulu memikirkan pentingya perlindungan terhadap HAM.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 28 UUD 1945. Kendati awalnya, soal HAM itu hanya dicantumkan secara umum, pasca era reformasi 1998, pasal 28 itu kemudian diamandemen beberapa kali sehingga jangkauan HAM pada UUD nasional akhirnya benar-benar merefleksikan DUHAM 1948.
Dengan dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi melahirkan kewajiban bagi negara (pemerintah) untuk menghormati, melindungi dan menjamin, memenuhi serta memajukan Hak Asasi Manusia seluruh rakyat atau warga negara Indonesia.
Negara atau pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam upaya penegakkan hukum demi menjamin pemenuhan HAM seluruh warga negara Republik Indonesia.
Amanat konstitusi di atas mengandung dua pengertian; pertama, kewajiban negara (pemerintah) untuk melindungi, menghormati, memenuhi dan memajukan hak asasi seluruh warga negara Indonesia.
Kedua, kewajiban pemerintah pula untuk menegakkan hukum atau mengadili apabila terjadi pelanggaran terhadap HAM tersebut. Untuk mengakomodasi dua hal di atas, pemerintah Indoenesia telah menelurkan dua undang-undang: pertama, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; kedua, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Terkait penegakan hukum, pertanyaannya adalah apakah kedua undang-undang di atas dapat digunakan untuk mengadili dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu (sebelum Undang-Undang No. 26 Tahun 2000)? Kalau itu bisa diberlakukan, bagaimanakah dengan asas non retroaktif dalam hukum pidana?
Ternyata Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 membuat pengecualian. Pengecualian itu dilakukan untuk pelanggaran HAM berat. Sifat retroaktif tersebut secara eksplisit dirumuskan dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM:"Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc".
Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa: "Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan."
Berdasarkan bunyi pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat dikatakan bahwa secara yuridis, undang-undang telah memberi jalan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Artinya, pasal ini menjadi instrumen hukum (legal frame work) bagi DPR dan Presiden dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000.