Lihat ke Halaman Asli

Christina Dini

Belajar Nulis

Cerpen | Penyesalan

Diperbarui: 17 Mei 2019   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata orang penyesalan selalu ada di belakang, kalau didepan itu namanya pendaftaran. Aku pikir itu hanyalah sebuah guyonan konyol yang cukup menggelikan. Tapi, ternyata ini memang benar adanya. Aku ceritakan sedikit kisahku, yang tak ingin orang lain mengalaminya. Kuharap, orang lain tak pernah mengalami seperti yang kualami.

Selama muda, hidupku hanya diisi dengan foya-foya. Gaji masih saja kurang, tiap bulan ibuku sibuk mengirimi uang tambahan. Aku berdalih, gaji kecil, tak cukup untuk hidupku. Mencari seribu satu alasan. Dosa pria tetaplah sama dimana-mana tak akan pernah berbeda; judi, minuman dan wanita. Dari ketiganya aku lebih suka wanita. Berganti-ganti dari satu wanita ke wanita lain, bosan lalu tinggal pergi, selalu seperti itu.

Begitu juga halnya dengan pekerjaan. Berkali-kali aku keluar masuk dari pekerjaan, mungkin bagi orang lain, akan kesulitan mencari pekerjaan baru. Tapi tidak bagiku, mungkin keberuntungan soal materi berpihak padaku. Meski sering gonta ganti pekerjaan, aku tak pernah kesulitan mendapatkan yang baru. Suatu ketika, aku mendengar kabar, kalau ayahku sakit keras dan menjadi lumpuh. Tentu saja tanpa berpikir panjang aku pulang ke rumah. Hanya ayahku yang ada dalam benakku.

Tak kuhiraukan lagi Boss ku yang setiap hari menelpon memintaku untuk kembali ke perusahannnya. Dia bahkan tak peduli berapa lama aku mengambil cuti, yang pasti aku harus kembali. Karena aku dinilai cukup cekatan dengan perkerjaanku. Namun aku lebih memilih pulang mengurus ayahku yang terbaring lumpuh. Aku rela meninggalkan semuanya untuk merawat orang tuaku.

***

 "Tapi kita kan baru kenal, mas. Maaf aku gak bisa" begitu ucap Bintang. Rasanya sakit sekali, tapi aku tak menyerah begitu saja. Entahlah, aku ingin sekali menikahinya. Jadi aku harus bersabar.

"Ya sudah, gak papa kalo Bintang gak bisa nerima perasaanku. Tapi mas boleh kan main kesini? Supaya Bintang lebih kenal siapa mas?" begitu jawabku

Bintang hanya mengangguk ragu-ragu.

Tiga belas bulan lamanya aku berusaha mendekati Bintang, mencoba mengenal pribadinya lebih dalam. Bintang pun akhirnya luluh pada pendirianku. Akhirnya Bintang mau membuka hatinya. Meskipun aku masih mencari kesenangan dengan wanita lain. Di tahun kedua, akhirnya kami menikah. Dan lahir bayi laki-laki yang sangat tampan, dan menjadi kebanggaanku. Namun perlahan, awan gelap menyelimuti pernikahan kami. Aku menjadi kasar pada Bintang, banyak larangan yang kuberikan padanya.

Terlebih saat Bintang mulai bekerja. "Gajiku setiap bulan masih kurangkah?" kata-kata itu meluncur dengan kasar dari mulutku. "Harusnya kamu sadar, kalau bukan karena aku menikahimu, hidupmu tidak akan seperti ini! Kenapa masih saja ingin bekerja? Tugasmu hanya mengurusi rumah, melayaniku dan juga mengasuh bayi kita!" Bintang hanya diam, namun airmatanya perlahan menetes, meski dia berusaha menahannya.

"Seorang istri harusnya menuruti semua kata suaminya. Dasar perempuan gak tau diri, gak tau diuntung!" terus saja aku memaki Bintang. Rasanya emosiku semakin memuncak. "Bukan uang yang aku cari mas, tapi aku cuma ingin punya teman, keluarga. Kalau aku kerja setidaknya aku tidak kesepian. Mas tau sendiri, dilingkungan sini, aku tak kenal siapapun, mereka lebih senang tinggal didalam rumah. Mas juga kerjanya jauh, aku cuma ingin kerja mas." Plaaakkk... darahku mendidih, tangan kananku terasa panas, menampar pipi kiri Bintang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline