Dilema para guru honorer yang tersebar di seluruh Indonesia, di satu sisi mereka sangat mencintai profesinya, melayani sesama turut serta mencerdasakan bangsa, namun di sisi lain harapan dan kerja kerasnya hanya berbayarkan sangat minim, jauh dari kata sejahtera.
Tanggung jawab sama beratnya dengan guru PNS, namun setiap bulan hanya mengantongi secuil rupiah. Untuk biaya hidup sendiri saja pas-pasan, apalagi jika mereka memiliki keluarga? Bagaimana nasibnya? Mereka berdedikasi tinggi dan berperan dalam dunia pendidikan kita, namun kesejahterannya sangatlah memprihatinkan.
Salah satu teman saya berprofesi sebagai guru PNS, tidak perlu diragukan lagi soal kesejahteraannya, sudah sertifikasi, tentu saja menambah pundi-pundi pendapatannya. Bagaimana tidak, setiap tri wulan sekali medapatkan uang sertiifkasi yang jumlahnya lumayan. THR (Tunjangan Hari Raya), dan gaji ke 13, sangat fantastis bukan? Belum soal membuka les tambahan di sore hari, tentu saja rejeki lancar mengalir deras. Beliau memang sosok yang sangat dikagumi, dan menjadi salah satu guru berprestasi. Setiap ada lomba, beliau ditunjuk menjadi pembimbing maka selalu membawa pulang piala. Murid-murid pun sangat menyukainya. Ditambah sosoknya sangat sederhana.
Berbeda dengan teman saya yang lain, berprofesi juga sebagai guru, namun statusnya hanya honorer. Jam kerja nya sama dengan guru PNS, pun ditambah sebagai operator sekolah. Yang harus update dengan data-data keseluruhan mulai dari siswa, sampai kepala sekolah, masalah pembiayaan sampai sarpras di sekolah. Data-data itu harus valid, karena berhubungan dengan "cairnya sertifikasi" teman-teman guru yang PNS.
Tak jarang ada kesalahan dalam input, atau kendala dalam server membuatnya harus bekerja lebih keras. Harus sinkronisasi dengan server sampai hasilnya menjadi data yang valid. Tengah malam atau bahkan pagi buta, harus terbangun demi sinkron. Jernih payahnya menjadi operator sekolah hanya seratus ribu rupiah. Bila teman-teman guru PNS mendaptkan sertifikasi, bisa mendapatkan bonus lebih, lumayan untuk membeli beras.
Kegiatan belajar mengajar pun tak pernah absen dari kesehariannya. Kadang masih dibebani tugas lain, seperti administrasi kelas, mengetik soal, belum lagi bila ada lomba-lomba untuk siswa yang diselenggarakan UPT Dinas Pendidikan Kecamatan maupun Dinas Kabupaten. Sibuknya sudah luar biasa. Pembina ekstra kurikuler pun melekat menjadi tugas lainnya.
Meski menyadari beratnya tugas dan tanggung jawab yang tak pernah seimbang dengan penghasilannya, namun teman saya sangat menyukai profesi sebagai guru, meski honorer seolah menjadi status abadi baginya. Hidupnya pas-pas an, malah sering kekurangan. Berbagai tugas berat dilakukannya dengan senang hati, demi anak-anak didiknya meski hidupnya tetap melarat. Ironis bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H