Lihat ke Halaman Asli

Stefi Rengkuan

Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Terima Kasih Indonesia, Amazing Grace...

Diperbarui: 29 Juni 2024   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tugu "Hallelujah Mountain" di Avatar Mountain di Zhangjiajie, China. Dok. Pribadi

Seorang pemuda beraksi, menarik perhatian kelompok tour kelompok kami berjumlah 23 individu yg baru saja turun dari bus, sekitar 100 meter dari pusat kuliner malam di kota Quilin, yang berpenduduk sekitar 1 juta orang, berkategori kota kecil di China yang besar itu.

"Terimakasih Indonesia, terimakasih, aaamaaazing graaaace ..."

Ya, sambil menyanyi hymne masyur sejagad itu, Amazing Grace, dia mulai menawarkan jualannya dari kursi roda.

Apa yang menarik? Tentu saja sapaannya dalam bahasa Indonesia, selain daya tarik mengundang simpati atas "keterbatasan" fisik (atau malah "kebebasan" tubuhnya dari ranjang di rumah). Tentulah juga syair lagu yang dinyanyikannya. Apalagi dibawakan dengan penuh penghayatan yg memancar dari raut wajah dan kepalanya yang condong tengadah kepada keagungan surgawi.

Entahkah dia seorang beriman sebagaimana pencipta dan umumnya pelantun dan penikmat lagu rohani tersebut? Atau malah hanya sebagai trik menarik perhatian dan simpati untuk membeli?

Pertanyaan akhir ini spontan muncul karena pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan para penjual yg membuat calon pembeli mesti lebih berhati-hati khususnya dalam hal memastikan produk asli dari sisi kualitas dan harga.

Namun, beberapa jam kemudian satu grup kecil kami yang baru turun dari kapal pesiar malam menyusuri keindahan sungai yang dibentuk dari 4 danau, berpapasan lagi dengan penjual berkursi roda tersebut, di tengah lokasi kawasan wisata kuliner yg ramai itu. Dan lelaki 40 tahunan itu didapati juga sedang menyanyi sebuah lagu rohani lainnya masih dalam bahasa Inggris juga, dan kali ini hanya menyanyi saja tanpa sedang tawar menawar dengan calon pembeli.

Hal ini membuatku sejenak heran dan kagum, lalu berfokus pada ingin tahu apa sesungguhnya keyakinan agama sang lelaki yang nampak bersemangat lebih dibandingkan dengan para penjual dan asisten dari toko masing2 yang juga menawarkan brisur dan sampel produk mereka.

Pasalnya baru kali itu setelah hampir seminggu berada di bbrp kawasan wisata umum antara Quilin-Chongqing-Quilin, baru malam itulah muncul representasi seorang yang mungkin saja beriman kristiani, yang katakanlah sedang mengekapresikan bahkan mewartakan kabar sukacita iman harap kasih melalui lagu dan aksinya itu, apalagi dari kursi roda walau sambil atau dalam rangka menjual produk asesoris umum.

Padahal asumsi umum dalam pikiran saya dan kebanyakan wisatawan Indonesia yg serba religius, soal agama apalagi ekspresinya di kawasan publik itu dibatasi bahkan dilarang pemerintah komunis yang memang berwatak ateistik (?)

Sebut saja ini sebuah paradoks bahkan kontradiksi, dan karena itu masih menjadi pertanyaan bagi saya, karena sempat menulis dalam diary di hari kedua tour ini bahwa tersirat adanya ketakpedulian dan sekakigus keletihan psiko-spiritual dalam wajah dan tingkah orang-orang dewasa muda dan pekerja (sejauh diamati sekilas di peron-peron besar nan sibuk) di negeri peradaban tua yang hanya dalam bbrpa dekade saja sudah menyusul bahkan melampaui banyak negara maju.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline