Membaca tulisan Coen Huzain Pontoh "Surat Kepada Romo Franz Magnis-Suseno
" (IndoProgress, 20/7/2020), saya terkesan dan mengirimkan tulisannya itu ke grup, dengan catatan saya bahwa tulisan bung Coen ini tajam dan berani...Namun demikian ketajaman sebuah tulisan belum tentu sungguh bisa membedah dengan tepat sasaran, apalagi seluruh tubuh dari sosok dan pemikiran serta kiprah sang Profesor.Dan setelah saya membaca tulisan "Komunisme Memang Gagal" (Kompas 9/7/2020) yang dikritik itu, saya kemudian jadi membuat tulisan yang berusaha menunjukkan point kritik yang mestinya menjadi fokus Coen, supaya tidak terkesan "kesurupan" atau terjebak pada trauma dan perspektif tertentu.
Ketajamannya mungkin lebih terasa sembilu yang mengganggu telinga daripada ketepatgunaannya menuntaskan analisa dan argumennya. Tapi kalau memang tujuan tanggapan itu sekedar mencari sensasi dan perhatian tertentu, ya boleh juga diandaikaan bahwa bung Coen berhasil membuat mereka yang pernah menjadi mahasiswa sang Profesor itu menjadi berpikir, ada apa dengan Tap MPRS itu?
Saya bisa membayangkan para mahasiswa itu akan lebih dulu mengkritisi kata-kata dan frase bernada seperti sembilu mengiris kebanggaan sebagai murid, bila saja mereka menuruti perasaan apalagi sekedar rasa bangga dan semacam rasa berhutang ilmu dengan si Profesor.
Walau saya bukan mahasiswa yang pernah mengikuti kuliah-kuliah Prof Magnis, namun saya punya beberapa buku beliau. Salah satunya buku tentang Karl Marx, dan bukunya memang pernah dilarang beredar di masa Orba, walau terus beredar secara gelap rupanya dalam bentuk stensilan di kalangan mahasiswa waktu itu.
Saat zaman Reformasi bergulir, buku itu beredar luas lagi, dan beberapa tahun lalu pernah digrebek oleh sekelompok ormas di beberapa toko buku karena karyanya itu dianggap menyebarkan pemikiran Marxis yang dianggap sama dengan menyebarkan paham komunisme bahkan identik dengan antek partai terlarang zaman Orba itu, PKI.
Dari satu buku terbitan itu saja, jelas satu hal bahwa Prof. Magnis tidak seperti dibayangkan bung Pontoh, bahwa dia mengajar dengan "mubazir" saja karena para mahasiswa hanya dilatih dengan pemikiran yang terseleksi dalam arti yang "cari aman" saja, bahkan yang membuat mereka "penakut dan anti ilmu pengetahuan".
Jadi, kesimpulan yang ditarik bung Pontoh terkait fungsi akademis romo menjadi mubazir sebagai dosen filsafat, ini jelas sangat bertolak belakang dengan Magnis Suseno yang dalam hal penerbitan saja telah menghasilkan publikasi ratusan artikel dan puluhan buku filsafat (kritis).
Namun, kalau mau adil dan jujur, mari kita kembali ke inti yang mestinya menjadi fokus kritik bung Coen, yang menurut saya justru di poin itu bobot rasional dan nilai yang patut didiskusikan dengan lebih tenang, bukan dengan gaya provokatif yang rupanya menjadi ciri kaum kritis yang kekirian, bisa juga yang kekananan, asal bukan menjadi "kekanakan" seperti sindirian Gus Dur kepada lembaga terhormat DPR seolah menjadi sekelas Taman Kanak-Kanak pada saat itu semua gonjang ganjing dan polemik berakhir dengan pemakzulan sang Presiden oleh MPR.
Prof. Magnis sendiri memberi dua analisis mengapa Presiden Abdurahman Wahid waktu itu berencana menghapus Tap MPRS itu, bahwa memang isu PKI sudah tak relevan dan terutama demi menghapus stigma kejam bagi para korban dan keturunannya.
Dan sambil mengajak untuk kita bangsa menyelesaikan stigma kejam ini, Magnis meneruskan lagi argumen mengapa Tap MPRS itu tak mesti dicabut, karena menurutnya itu mempunyai kekuatan simbolis penting. "Pertama, dengan menetapkan bahwa bagi PKI tidak ada tempat lagi di Indonesia, TAP itu mengakhiri suatu keterpecahan bangsa, yang meledak dalam Gerakan 30 September. Kedua, ideologi PKI adalah Marxisme-Leninisme, dan salah satu unsur Marxisme-Leninisme adalah ateisme".