Lihat ke Halaman Asli

Fan.

Writer.

LGBTQIA+ di Lingkungan Kampus:

Diperbarui: 27 September 2024   00:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KELOMPOK MINORITAS: Laman web menunjukkan simbol komunitas LGBRQIA+

SEMARANG (23/09/2022) - Universitas sejatinya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mencari jati diri, mengasah skill, melatih kemampuan bersosialisasi, dan mengembangkan value diri. Namun, mahasiswa yang tergabung dalam komunitas LGBTQIA+ dan menunjukkan ekspresi gender yang berbeda dari norma serta nilai yang ada di masyarakat, masih sering mendapat persekusi di lingkungan akademik ketika identitas mereka terkuak.

Alex (bukan nama asli) merupakan seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) yang mengaku memiliki orientasi seksual gay. Meski begitu, ia menekankan ekspresi gender yang dimilikinya adalah cis man. “Selama ini aku tetap berperilaku sebagai laki-laki dan aku mengidentifikasi diriku sebagai laki-laki normal pada umumnya. Style ku normal, cara bicaraku normal, sikapku normal, aku tetap laki-laki,” tutur pemuda berdomisili Jakarta ini.

Dia menerima jati dirinya sebagai seseorang yang memiliki orientasi seksual gay ketika berada di tingkat dua bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Tidak ada penolakan (denial) yang ia rasakan ketika menyadari hal tersebut, dia mengatakan justru ia merasa lega karena tahap eksplor jati diri telah ia lalui, jawaban atas segala pertanyaannya telah terjawab.

“Waktu SMP aku pernah kena bully, karena kata mereka aku lekong. Padahal aku merasa biasa-biasa aja. Aku sempat punya curiosity, apa benar aku berbeda? Waktu tau jawabannya kalau aku gay rasanya lega, karena memang jawaban itu yang aku cari,” terangnya.

Meski begitu, ia belum siap ketika identias seksualnya tersebar secara luas. Di lingkup perkuliahan, orientasi seksualnya mulai terbongkar ketika ia memutuskan untuk bercerita kepada beberapa teman yang dipercayai. Namun, ia tak menyangka seksualitasnya dapat menyebar dalam hitungan bulan. Akibatnya, ia mendapatkan persekusi yang cukup ekstrim hingga membuatnya merasa takut, tidak aman, dan sempat kehilangan motivasi untuk mengikuti perkuliahan. Persekusi ekstrim ini justru datang dari lingkup teman sebaya.

“Masa terberat yang aku lalui ada di semester dua sampai tiga, karena aku mulai merasa dijauhi dan teman-teman gosipin aku yang buruk-buruk di belakang,” ujarnya.

Persekusi yang paling menyakitkan ia rasakan ketika dalam suatu mata kuliah terdapat tugas kelompok. Ia sering ditolak ketika mengajukan diri menjadi anggota kelompok, mahasiswa dalam kelas tersebut enggan bekerja sama dengan Alex tanpa alasan yang jelas.

“Aku malas kalau ada tugas kelompok. Waktu semester dua atau tiga itu parah banget. Aku sampai merasa apakah value diriku hanya sebatas orientasi seksual? Padahal aku bisa berkontribusi lebih,” ungkapnya.

Persekusi lain yang membuatnya sempat merasa down terjadi ketika ia bergabung dalam sebuah kepanitiaan mahasiswa. Mahasiswa yang tergabung dalam kepanitiaan tersebut seringkali bergosip, mencemooh, dan mengolok-olok Alex terkait orientasi seksual dan ekspresi gendernya.

“Waktu rapat kepanitiaan mereka ngomongin orientasi seksualku di belakang. Aku kecewa banget karena orang yang aku percayai malah menyebarkan seksualitasku dan khianatin kepercayaanku,”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline