Lihat ke Halaman Asli

Stefanus Satria Nugraha

S1 Akuntansi FEB UGM

Hidup dalam Dua Dunia: Keseimbangan Antara Realitas dan Virtual

Diperbarui: 13 Desember 2024   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era digital, manusia hidup di antara dua dunia: dunia nyata yang dapat disentuh, dilihat, dan dirasakan secara langsung, serta dunia maya yang menjadi ruang tanpa batas bagi ekspresi, interaksi, dan eksplorasi. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian, seperti laporan Pew Research Center (2019) tentang dampak teknologi terhadap kehidupan manusia, yang menunjukkan bagaimana internet telah menjadi bagian integral dari aktivitas sehari-hari. Dunia maya telah menjadi tempat baru bagi manusia untuk membangun eksistensi, mengukir identitas, dan mencari makna. Namun, di balik layar yang berkilauan, terselip keresahan yang semakin merongrong kesejahteraan mental dan sosial manusia modern. Bagaimana kita memahami keresahan ini?

Kehidupan Virtual: Cermin atau Bayangan?

Dunia maya sering dianggap sebagai cermin kehidupan nyata. Media sosial, forum daring, dan platform lainnya memungkinkan manusia menciptakan versi digital dari diri mereka. Namun, apakah benar dunia maya adalah cermin yang setia? Atau justru, ia lebih menyerupai bayangan yang memantulkan sisi lain dari manusia?

Ketika seseorang mengunggah foto liburan yang sempurna di Instagram, misalnya, apakah itu cerminan dari kebahagiaan sejati atau sekadar upaya menciptakan citra tertentu? Dalam konteks antropologi digital, fenomena ini bukan sekadar perilaku individu, melainkan manifestasi dari budaya baru yang dibentuk oleh algoritma, kapitalisme digital, dan tekanan sosial. Dunia maya telah menjadi ruang di mana manusia terus-menerus bernegosiasi dengan identitas mereka. Namun, negosiasi ini seringkali memicu keresahan karena tuntutan untuk selalu tampil "baik" dan "sempurna."

Keresahan Kolektif dalam Jaringan

Tidak bisa dipungkiri bahwa internet membawa manfaat besar. Ia menjadi jembatan untuk mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang, berbagi ilmu pengetahuan, dan menciptakan inovasi. Namun, jaringan yang menghubungkan kita juga menjadi medan tempat berkembangnya keresahan kolektif. FOMO (Fear of Missing Out), misalnya, adalah fenomena psikologis yang banyak dialami pengguna media sosial. Penelitian dari Przybylski et al. (2013) dalam jurnal Computers in Human Behavior menjelaskan bahwa FOMO berkaitan erat dengan rendahnya kesejahteraan mental dan perasaan tidak puas terhadap kehidupan. Ketika seseorang melihat teman-temannya menghadiri acara seru, mencapai pencapaian besar, atau sekadar menikmati momen-momen kecil yang tampak bahagia, muncul perasaan bahwa diri mereka tertinggal. FOMO adalah produk dari hiper-konektivitas dunia maya, di mana kita selalu disuguhi gambaran tentang kehidupan orang lain tanpa jeda. Di sisi lain, ada juga fenomena overexposure atau paparan berlebih terhadap informasi. Dunia maya membombardir kita dengan berita, opini, dan konten tanpa henti. Akibatnya, otak manusia yang pada dasarnya dirancang untuk memproses informasi dalam jumlah terbatas menjadi kewalahan. Antropologi digital melihat hal ini sebagai tantangan budaya: bagaimana manusia dapat beradaptasi dengan arus informasi yang tak pernah berhenti?

Kehilangan Sentuhan Manusia

Salah satu keresahan terbesar yang muncul dari dominasi dunia maya adalah hilangnya sentuhan manusia. Interaksi digital, meskipun cepat dan efisien, sering kali terasa hampa. Emoji tidak bisa sepenuhnya menggantikan ekspresi wajah; suara dalam pesan suara tidak sehangat percakapan tatap muka. Antropologi digital mengajak kita untuk merenungkan bagaimana hubungan manusia berubah di era digital. Apakah keintiman masih memiliki tempat di dunia yang semakin didominasi oleh layar? Apakah manusia perlahan kehilangan kemampuan untuk berempati karena terbiasa dengan komunikasi singkat dan dangkal? Sebagai contoh, dalam komunitas daring, sering kali terjadi konflik yang dipicu oleh salah paham atau kurangnya konteks. Di dunia nyata, kita memiliki isyarat nonverbal untuk membantu memahami maksud seseorang. Namun, di dunia maya, kata-kata sering kali menjadi satu-satunya alat komunikasi, dan ini membuka ruang untuk kesalahpahaman yang lebih besar.

Kehidupan yang Diterjemahkan oleh Algoritma

Dalam dunia maya, kehidupan manusia tidak hanya dibentuk oleh pilihan mereka sendiri tetapi juga oleh algoritma. Sebagai contoh, algoritma media sosial seperti yang digunakan oleh Facebook atau TikTok memprioritaskan konten yang diprediksi akan menarik perhatian pengguna, berdasarkan riwayat interaksi mereka sebelumnya. Studi oleh Pariser (2011) dalam konsep "filter bubble" menunjukkan bagaimana algoritma ini dapat membatasi sudut pandang pengguna, sehingga memengaruhi cara mereka memahami dunia. Algoritma ini menentukan konten apa yang kita lihat, siapa yang kita temui, dan bahkan bagaimana kita memandang dunia. Dalam perspektif antropologi digital, algoritma adalah "aktor" baru dalam kehidupan manusia yang memiliki kekuatan besar. Namun, keberadaan algoritma juga menimbulkan keresahan. Banyak orang merasa bahwa mereka kehilangan kendali atas pengalaman daring mereka yang menciptakan paradoks: semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang di dunia maya, semakin sedikit kendali yang mereka miliki atas waktu tersebut.

Harapan dan Kemungkinan Baru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline