"Orang naik kuda, tapi kuda bohong, namanya kuda lumping", siapa yang tak ingat lirik lagu tersebut?. Lagu yang dipopulerkan oleh raja dangdut Rhoma Irama tersebut diambil dari salah satu kesenian di pulau Jawa yaitu Kuda Lumping. Kuda lumping memang terkenal dipulau Jawa, tak heran jika namanya dijadikan inspirasi lagu oleh Rhoma Irama. Kesenian ini menggunakan media kuda atau dalam bahasa Jawa disebut jaran. Permainan kuda lumping ini dimulai dengan gerakan-gerakan tarian sederhana sampai si pemain tak sadarkan diri karena telah kerasukan mahluk gaib. Dari tarian biasa berubah menjadi atraksi yang ekstim seperti makan beling atau berlaku seperti hewan biasa terjadi ketika pertunjukan berlangsung. Adapun disetiap pertunjukan tak jarang penonton ikut kerasukan. Pertunjukan kuda lumping biasanya dipandu oleh seorang pawang yang mampu menguasai jalannya pertunjukkan, pawang inilah yang nantinya membantu menyadarkan para pemain jika pertunjukan sudah usai atau penonton yang kerasukan secara tiba-tiba ketika jalannya pertunjukkan.
Indonesia memang kaya akan budaya, ibu pertiwi tak henti-hentinya membuat kita kagum dengan kekayaan budayanya. Seperti pada kesenian yang satu ini, ternyata kuda lumping tidak hanya tersebar di pulau Jawa, tetapi juga di pulau Sumatera tepatnya di Sawahlunto, Sumatera Barat. Bagaimana itu bisa terjadi?. Joko Purnomo salah seorang penggiat budaya menjelaskan bahwa dia mempelajari kesenian tersebut dari tanah Jawa langsung.
"Awalnya, banyak penolakan karena orangtua tidak setuju, tapi karena ada tekad dan niat yang kuat untuk melestarikan budaya, akhirnya kita belajar langsung ke Jawa. Karena memang masih ada sanak keluarga disana jadi sesampainya di Jawa, kemudian diarahkan ke pawang-pawang lain... Harus bertapa, puasa, belajar ilmu agama baru setelah mampu memanggil dan mengendalikan mereka yang tak kasat mata itu, artinya kita sudah bisa" ujarnya.
Kuda lumping di Sumatera Barat ini memiliki keunikan sendiri. Kuda lumping di Sawahlunto biasa disebut 'Kuda Kepang', karena adanya komunitas Jawa di Sawahlunto maka tidak sulit untuk kesenian ini diterima dimasyarakat. Adanya komunitas Jawa ini tidak lepas dari sejarah kelam kota Sawahlunto sebagai kota industri batubara pada masa kolonial Belanda dulu. Ketika ditemukan kandungan batubara dibawah tanah Sawahlunto, Belanda kemudian mengirim ahli-ahli geologi, pertambangan, arsitek, hingga dokter langsung dari negeri van oranje untuk membangun pusat industri disana. Sedangkan para buruh lokal, mereka datangkan dari pulau-pulau diluar Sumatera.
"Sebagian besar pekerja paksa yang didatangkan ke Sawahlunto ini berasal dari pulau Jawa, makanya disini banyak sekali keturunan-keturunan buruh paksa yang dahulu disebut orang rantai... Mereka yang kalau menurut Belanda disebut kriminal ini kemudian diasingkan dari tanah kelahirannya dan dipaksa bekerja di tambang-tambang bawah tanah. Kondisinya sangat tidak manusiawi, karena sesampainya disini identitas mereka langsung dihilangkan dan mereka hanya mengenakan tatto angka sebagai identitas mereka, bekerja sebagai buruh tetapi tidak digaji dan kaki tangan mereka dibelenggu oleh rantai" tutur Joko.
Karena banyaknya buruh yang meninggal karena depresi. Belanda kemudian meringankan beban mereka dengan memberi hiburan untuk mereka.
"Yang didatangkan hanya alat musik pengiring dan penari-penari wanita, sedangkan untuk pemain musik dan lakon itu ya dari orang-orang disini. Dan yang kita gunakan untuk mengiringi pertunjukkan Kuda Kepang disini rata-rata adalah alat musik peninggalan dari zaman kolonial itu" jelas pemilik sanggar seni Kalimasodo tersebut.
Ada sedikit perbedaan yang terdapat pada kuda lumping Jawa dengan kuda kepang Sawahlunto. Perbedaan itu terletak pada mahluk gaib yang merasuki pemain kuda kepang.
"Perbedaannya ada pada danyang-danyang, inggang, indang dan arwah yang merasuki pemain. Karena disetiap daerah atau tempat memiliki penguasa alam gaib yang berbeda-beda" jelasnya lagi.
Menarik untuk mempelajari budaya-budaya yang ada di Indonesia ini. Banyak sekali cerita yang tersirat didalamnya. Begitu juga kesenian kuda lumping atau kuda kepang ini. Mempelajari ilmu gaib bukan berarti kita sesat sebagai umat beragama, tetapi lebih kepada sebagaimana kita sebagai manusia menghargai sesama mahluk ciptaan-Nya dan juga sebagai masyarakat Indonesia supaya kita tidak lupa akan budaya nenek moyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H