Lihat ke Halaman Asli

Stefani Putri

Mahasiswa

Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Jalan Menuju Rumah Idaman atau Beban Tak Berujung?

Diperbarui: 15 Juni 2024   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dok Freepik

Tabungan perumahan rakyat (Tapera) adalah program pemerintah di bawah Kementerian PUPR. Program ini berfokus pada penyediaan rumah yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. 

Program ini memiliki landasan hukum berupa peraturan pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024. Program ini mulai berlaku pada 2027 yaitu paling lambat 7 tahun sejak ditetapkan. Merujuk pada pasal 15 ayat 1 bahwa besaran simpanan peserta ditetapkan 3% untuk seluruh pekerja baik ASN, Swasta maupun Mandiri. 

Model iuran ini terbagi menjadi 0,5% dari pemberi kerja dan 2,5% dari peserta pekerja. Sebenarnya tujuan dari program Tapera ini baik yaitu investasi jangka panjang terkait pengelolaan keuangan untuk perumahan. 

Namun, polemik muncul begitu saja dari kalangan menengah ke bawah yang memiliki nilai sekitar upah minimum regional (UMR), mengingat selama ini masih banyaknya potongan seperti iuran organisasi, iuran BPJS, Jamsostek, hingga membuat nilai yang dibawa pulang ke rumah turun.

Di sisi lain, pemerintah sebagai pengelola Tapera yaitu BP Tapera menyebut bahwa kewajiban iuran ini memberikan manfaat yang signifikan. Diantaranya yaitu dapat mengikuti kredit untuk KPR (Pemilikan rumah), KBR (Bangun Rumah), dan KRR (Renovasi Rumah) bagi peserta tapera. Selain itu, mengingat bahwa ini adalah tabungan, maka peserta dapat mengambilnya saat sudah pensiun. 

Program ini juga memiliki manfaat bagi pihak lain/ peserta lain yang belum memiliki kecukupan dana berkaitan dengan perumahan, sehingga bisa terbantu melalui program ini, seperti program BPJS.

Manfaat yang diberikan dari program ini, disinyalir tidak dapat menutupi kekurangan program saat sudah berjalan di masyarakat. Hal ini dikarenakan sejak UU Cipta kerja diberlakukan, kenaikan upah pekerja sangat rendah dan tidak sebanding dengan inflasi nilai rupiah. 

Ketidakseimbangan antara kedua hal ini saja, daya beli masyarakat sudah turun, sehingga menyebabkan barang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Terlebih lagi apabila potongan 3% Tapera dijalankan dapat dipastikan bahwa daya beli masyarakat akan jauh lebih rendah dari sebelumnya akibat besaran gaji setelah potongan semakin rendah. Ini masih dilihat dari sisi pekerja yang mendapat gaji dan menerima potongan 2,5%.

Pengusaha atau penyedia lapangan pekerjaan juga dipastikan keberatan. Hal ini mengingat daya saing hasil produksi di dalam negeri juga berat. Terlebih lagi masih banyaknya pasokan barang impor yang harganya murah. Kebijakan tapera dengan memotong 0,5% dari gaji pekerja tentu akan mengakibatkan masalah juga pada berbagai aspek pekerja.

Kekurangan lain muncul dari pengelolaan dana yang disebut transparan dan akuntabel. Namun, disisi lain tidak memperhatikan jatuhnya nilai rupiah saat ditabung hari ini hingga masa pensiun tiba. Sebandingkah atau tidak antara tabungan 3% dengan nilai rupiah saat diambil dikala pensiun, masih menjadi pertanyaan besar. 

Model tabungan yang tidak bisa diambil sewaktu-waktu dan tidak dapat dimanfaatkan secara langsung tentu menimbulkan kegaduhan di Masyarakat, terlebih lagi ini program wajib yang dapat berbuntut sanksi bagi yang tidak mengikuti. Model Tapera yang disinyalir mencontoh BPJS Kesehatan tentu tidak cocok disandingkan, mengingat kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat belum terlalu dipentingkan, berbeda dengan kesehatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline