Baru-baru ini media sosial Twitter diramaikan dengan tangkapan layar status Facebook Tere Liye yang meluapkan kekesalannya kepada sebagian pembacanya.
Eits, bukan tanpa alasan Tere Liye marah-marah di media sosialnya. Ia merasa geram dengan penikmat bukunya yang masih membeli buku bajakan di e-commerce dengan harga yang murah. Tere Liye dengan tegas menolak adanya pembajakan buku, termasuk karyanya yang menjadi korban.
Tentu saja kali ini saya sepakat. Selain opininya yang membabi-buta soal LGBT adalah gaya hidup penuh propaganda dan masuk sebagai penyakit jiwa (yang ini jelas saya tak ikutan sepakat), kali ini soal pembajakan buku saya turut sepakat dengan beliau.
Pembajakan buku adalah pencurian, tidak menghargai karya dan profesi penulis.
Namun, sebelum membahas mengenai kerugian dan bahaya dengan adanya pembajakan buku, ada baiknya kita merenung bersama; kenapa ya ada orang yang tetap membeli buku bajakan?
Baca juga: Kritik LGBT, Akun Facebook Tere Liye Diblokir oleh Satria Zulfikar Rasyid
Minimnya edukasi soal buku bajakan
Barangkali hal sepenting edukasi soal buku bajakan masih belum rata dipahami oleh masyarakat, khususnya pecinta buku. Bisa saja mereka tidak memahami bahwa di dunia ini ada buku 'asli' dan buku 'bajakan'.
Melihat kualitas yang ada, mungkin mereka cuma berpikir bahwa buku yang mereka beli adalah buku dengan kualitas yang 'murah', tanpa memahami bahwa buku yang mereka beli adalah buku bajakan.
Tergiur dengan harga murah
Seperti yang saya sampaikan di atas, pembeli buku bajakan tergiur dengan harga yang murah. Padahal kualitas buku yang murah sangat jauh beda dengan buku yang orisinil.
Apalagi oknum penjual buku zaman sekarang semakin pandai, mereka melakukan 'packaging' dan membuat buku yang mereka jual 'nampak asli'.
Minimnya akses/fasilitas membaca
Saya pernah mengulas mengenai terbatasnya akses untuk membaca buku di artikel berjudul "Cara Baca Buku Gratis di Aplikasi iPusnas" dan menemukan bahwa terbatasnya infastruktur dan minimnya fasilitas untuk membaca kerap ditemui di daerah pelosok. Membaca saja mereka terbatas aksesnya, bagaimana bisa memahami apakah itu buku orisinil atau bukan?