Cancel culture merupakan fenomena yang muncul di era digital, di mana individu atau kelompok dikritik secara publik dan diboikot karena tindakan atau pernyataan yang dianggap tidak pantas, tidak etis, atau kontroversial. Fenomena ini umumnya terjadi di media sosial, di mana opini publik dapat menyebar dengan cepat dan luas.
Cancel culture seringkali dikaitkan dengan gerakan sosial dan politik, khususnya terkait isu-isu seperti ras, gender, seksual, dan agama.
Di satu sisi, cancel culture dapat menjadi alat untuk mempromosikan keadilan dan akuntabilitas. Individu atau kelompok yang melakukan tindakan diskriminatif atau merugikan orang lain dapat diminta untuk bertanggungjawab atas perbuatan mereka.
Dampak Positif:
1. Meningkatkan Kesadaran Publik:
Cancel culture dapat membantu meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu penting, seperti rasisme, seksisme, dan homofobia.
Ketika seseorang dikritik secara publik karena tindakan atau perkataan yang tidak pantas, hal ini dapat memicu perdebatan dan diskusi tentang isu-isu tersebut, yang pada akhirnya dapat membantu mengubah perilaku dan sikap masyarakat.
Contohnya, gerakan #MeToo yang muncul pada tahun 2017, menggunakan media sosial untuk mendorong perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan pelecehan seksual.
Gerakan ini telah membantu mengungkap kasus-kasus pelecehan seksual yang selama ini ditutup-tutupi, dan telah menyebabkan beberapa tokoh berpengaruh di berbagai bidang kehilangan pekerjaan mereka.
2. Mendorong Akuntabilitas:
Cancel culture dapat memaksa individu dan kelompok untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perkataan mereka.