Lihat ke Halaman Asli

Keberadaan National Hostile Database Signature dan perannya dalam penentuan kebijakan hankam terhadap krisis Laut Cina Selatan

Diperbarui: 1 Juni 2024   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wikipedia

Pembuka 

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan posisi sangat strategis di dunia internasional.  Utamanya sebagai "penghubung" antarra "Timur dan Barat, Utara dan Selatan". Posisi strategis ini selain tentunya membuat negara kita memiliki "daya tawar" dan potensi ekonomi yang besar, juga membuat kita dapat dengan relative mudah terseret perang kepentingan antara negara-negara yang berkepentingan di sekitar wilayah kita.  Salah satu contoh adalah ambisi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau Cina di wilayah Laut Cina Selatan (LCS).  

Ambisi Cina di LCS (Laut Cina Selatan)

Republik Rakyat Tiongkok atau Cina merupakan salah satu pemain utama di LCS dan yang paling agresif menetapkan yang bisa dianggap "memaksakan kehendak" mereka di LCS dengan klaim wilayahnya.  Klaim yang terkenal dengan sebutan "9 dash line" atau "9 garis" (Gambar-1) ini mencakup hampir keseluruhan perairan LCS.  Klaim ini tentu tidak ditanggapi dengan senang hati oleh negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan negara lain yang juga menegakkan klaim di wilayah tersebut. Cina sendiri mendukung dan menegakkan klaimnya di LCS bukan hanya dengan "omong besar" melainkan juga membangun infrastruktur militer disana dan memperkuat armada udara dan lautnya.

Kemajuan militer Cina dan ambisi mereka di LCS tentu tidak direspon secara positif oleh negara-negara yang terdampak. Misalnya Filipina yang secara aktif mencari solusi diplomasi disertai dengan penguatan militer mereka, serta kerjasama dengan negara besar yang tidak memiliki ambisi territorial di LCS yaitu Amerika Serikat. Negara-negara lain pun termasuk diantaranya Indonesia melakukan maneuver "pivoting" atau "mendekat" ke Amerika Serikat juga. Kedekatan ini tentunya tidak hanya dilakukan dengan sekedar latihan bersama atau "obrolan diplomatis" melainkan juga pembelian alutsista untuk memperkuat "daya tawar" diplomatis negara-negara yang bersengketa dengan Cina di LCS.

Indonesia sendiri dibawah menteri pertahanan Prabowo Subianto dan nantinya sebagai Presiden terpilih, sudah melakukan upaya untuk memperkuat pertahanan negara utamanya dengan pembelian alutsista mutakhir seperti pesawat tempur Rafale dengan jumlah 42 buah yang merupakan pembelian terbesar pesawat tempur kita semenjak era orde baru.  

kapal perang mutakhir seperti FREMM dan program-program penguatan alutsista lainnya. Namun demikian saya selaku warga Indonesia ini merasa bahwa pembelian-pembelian ini terkesan lebih di dominasi kepentingan politis daripada teknis, sehingga saya melihat bahwa apa yang dibeli ini belum tentu relevan dengan "calon lawan" kita di LCS.

 

Penentuan kebijakan dan perlunya hostile signature database

            Cina sebagai salah satu calon lawan kita di LCS sudah mulai dekade lalu memperkuat militernya dengan adopsi alutsista berteknologi tinggi termasuk diantaranya pesawat stealth seperti J-20 dan J-31/35. Satu keanehan yang saya lihat daripada program pengadaan Indonesia adalah adanya semacam ketidak sesuaian antara apa yang "seharusnya" dibutuhkan dengan yang dibeli nanti.  Pertimbangan politik memang akan selalu menjadi salah satu yang utama, namun bilamana pertimbangan ini tidak disertai dengan pertimbangan teknis, apakah nanti bilamana potensi konflik benar-benar pecah dan kita terseret didalamnya, apakah kita harus membayar dengan nyawa prajurit atau penerbang kita dengan sia-sia ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline