Lihat ke Halaman Asli

"Menghitung Ulang" Produksi Beras Kita

Diperbarui: 6 Juni 2016   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat menyampaikan sambutannya pada Pencanangan Sensus Ekonomi 2016 dan Pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Sensus Ekonomi 2016 di Istana Negara pada 26 April 2016 lalu, Presiden Joko Widodo kembali menggarisbawahi pentingnya akurasi data sebagai pijakan pemerintah dalam memformulasi dan mengambil kebijakan terkait berbagai persoalan strategis di negeri ini. Salah satu persoalan strategis itu adalah isu importasi beras yang kerap menyulut debat publik di berbagai media cetak, elektronik, dan dalam jaringan.

Persoalan impor beras memang pelik. Keputusan terkait hal ini mesti didasarkan pada kalkulasi yang cermat dan akurat karena konsekuensi yang ditimbulkannya tidak hanya bersinggungan dengan dimensi ekonomi, tapi juga sosial dan politik.

Secara ekonomi dan sosial, persoalan impor beras tidak hanya menyangkut nasib petani padi dan keluarganya yang tingkat kesejahteraannya bakal terkoreksi akibat jatuhnya harga gabah jika impor dilakukan pada saat produksi padi melimpah, tapi juga stabilitas perekonomian nasional dan daya beli masyarakat miskin yang bakal terganggu akibat hantaman inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga beras jika impor terlambat dilakukan.

Sementara secara politik, impor beras tentu saja menyangkut harga diri kita sebagai bangsa agraris dan komitmen politik pemerintah dalam mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di negeri ini sebagaimana telah tertuang dalam Nawacita.

Karena itu, tanpa dukungan data yang akurat, terutama data produksi padi/beras, pemerintah bakal dihadapkan pada situasi yang membingungkan ketika hendak memutuskan akan mengimpor beras atau tidak. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden Jokowi dalam sambutannya. “Beda-beda semua. Bagaimana saya akan memutuskan tidak impor beras, (kalau) datanya  meragukan,” kata beliau.

Produksi overestimate

Selama ini, salah satu persoalan yang kerap mengemuka terkait importasi beras adalah isu data produksi padi/beras nasional yang ditengarai tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Data, yang perhitungannya merupakan hasil kolaborasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian itu, diduga lebih tinggi dari kondisi sebenarnya di lapangan (overestimate).

Forum Masyarakat Statistik (FMS), lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk memberikan masukan terkait penyelenggaraan statistik resmi di negeri ini, dalam surat resminya kepada Presiden Joko Widodo  ihwal perbaikan statistik produksi beras beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa ketidakakuratan data produksi padi/beras tersebut mengakibatkan kebijakan yang diambil pemerintah—terkait beras—kurang tepat dan terlambat.

Karena itu, salah satu rekomendasi yang disampaikan lembaga yang diketuai Prof. Bustanul Arifin itu, adalah agar pemerintah dan BPS melakukan backcasting (proyeksi kilas balik) perbaikan statistik beras selama 10 tahun atau 20 tahun ke belakang. Dengan kata lain, data produksi padi/beras nasional harus dikoreksi.

Meskipun masih diperdebatkan, sebetulnya tidak begitu sulit menunjukkan indikasi kelebihan estimasi pada data produksi padi/beras nasional. Inkonsistensi dalam perhitungan neraca (produksi dan kebutuhan) beras nasional adalah salah satunya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, produksi beras nasional selalu berlebih (surplus) setelah dikurangi kebutuhan beras untuk konsumsi penduduk. Surplus beras tersebut secara umum juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun lalu, surplus produksi beras nasional bahkan diperkirakan mencapai 13 juta ton jika menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 114,8 kg/tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline