Hubungan antara olahraga dan politik memang telah menjadi topik yang semakin relevan dalam diskursus publik. Pengaruh politik terhadap dunia olahraga semakin terlihat jelas, baik di tingkat nasional maupun internasional, dan hal ini menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda di kalangan masyarakat dan para ahli.
Olahraga sering dianggap sebagai sarana untuk membangun disiplin, tanggung jawab, dan kreativitas. Namun, pengaruh politik dalam pembinaan olahraga tidak dapat diabaikan. Intervensi politik dapat mempengaruhi model pembinaan dan institusi yang menangani olahraga, yang pada akhirnya dapat berdampak pada prestasi olahraga suatu negara.
Sejarah mencatat berbagai contoh di mana olahraga digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Olimpiade 1980 dan 1984 menjadi saksi bisu dari boikot yang dilakukan oleh negara-negara besar sebagai protes terhadap tindakan politik satu sama lain. Kejadian ini menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara olahraga dan politik.
Banyak politisi memanfaatkan popularitas olahraga untuk meningkatkan citra mereka di mata publik. Atlet yang meraih prestasi sering kali disambut oleh pejabat pemerintah yang ingin mengambil keuntungan dari momen tersebut untuk memperkuat posisi mereka. Hal ini menciptakan persepsi bahwa olahraga tidak lagi menjadi arena kompetisi murni, tetapi juga sebagai panggung bagi kepentingan politik.
Kampanye "Berdiri untuk Olahraga Indonesia" yang diluncurkan setelah Indonesia dicoret sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 adalah contoh terbaru dari upaya untuk menjaga agar olahraga tetap bebas dari intervensi politik. Insan olahraga Indonesia sepakat bahwa kejadian serupa tidak boleh terulang dan mereka menyerukan agar kegiatan olahraga dijauhkan dari pengaruh politik.
Beberapa insiden menunjukkan bagaimana politik dapat mempengaruhi keputusan atlet di arena kompetisi. Contohnya adalah keputusan atlet judo asal Aljazair, Nourine Fethi, yang mundur dari Olimpiade Tokyo 2020 karena menolak bertanding melawan atlet Israel. Keputusan ini didasari oleh dukungan politiknya terhadap perjuangan Palestina.
Meskipun ada tantangan yang dihadapi akibat intervensi politik, banyak pihak berharap bahwa masa depan olahraga dapat lebih terpisah dari kepentingan politik praktis. Olahraga seharusnya tetap menjadi media pemersatu bangsa dan simbol karakter serta jati diri suatu negara.
Relevansi mengenai antara olahraga dan politik memang kompleks dan beragam, tergantung pada konteks dan negara yang bersangkutan. Olahraga dapat digunakan sebagai alat politik untuk meningkatkan citra suatu negara, misalnya ketika suatu negara berhasil menjadi tuan rumah Piala Dunia. Selain itu, olahraga juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana unjuk kekuatan politik, baik secara internal maupun eksternal.
Politik juga dapat mempengaruhi kebijakan dan regulasi di dalam dunia olahraga, seperti aturan transfer pemain, pemberian hak siar, dan peraturan keamanan di stadion. Di sisi lain, sepak bola juga dapat mempengaruhi politik di suatu negara. Misalnya, keberhasilan tim nasional dalam kompetisi internasional dapat memberikan kebanggaan nasional dan mengurangi ketegangan politik di dalam negeri.
Para ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai hubungan antara olahraga dan politik. Robert Edelman, seorang sejarawan olahraga, menyatakan bahwa olahraga selalu memiliki hubungan dengan politik dan dapat digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan politik. David Rowe, seorang sosiolog olahraga, menyatakan bahwa hubungan antara politik dan olahraga sangat erat, terutama dalam konteks globalisasi.
Joseph Maguire, seorang ahli politik olahraga, mengatakan bahwa olahraga dapat digunakan sebagai sarana diplomasi dalam hubungan internasional. Contohnya, pertandingan antara Korea Selatan dan Korea Utara pada Piala Dunia 2010 disebut sebagai contoh keberhasilan diplomasi olahraga yang berhasil menyejukkan hubungan politik kedua negara.