Tiba-tiba terdengar lengkingan tangis menyayat. Dua kakak beradik, anak rumah sebelah, baru saja ditinggal ayah-ibunya. Ditemani pembantu, kakaknya tak mau melepas tangisnya, sementara sang adik matanya mulai memerah.
Tangisan anak itu, laki-laki sekitar 4 tahun, nyaring dan sukses menggugah perhatian, hingga akhirnya aku ke luar rumah. Kutemui bersama adiknya perempuan, yang berselisih tak kurang dari setahun.
Trenyuh, ada perasaan sedih ketika mendengar suara tangis anak yang mengiba. Permen coklat telah kusiapkan, dan rupanya mampu menghentikan tangisnya yang mengharukan.
Sang Kakak, diam dan mendengar apa yang kukatakan agar jangan menangis. Mereka bertiga, pada akhirnya masuk halaman rumahnya.
Kata pembantu, ayah-ibunya pergi mendadak karena menengok seorang kawannya yang meninggal karena kecelakaan.
Tentang tangisan anak, membekas banget di lubuk hati karena pengalaman pribadi masa lalu.
Dulu, ayah yang tentara sangat jarang di rumah karena tugas luar pulau. Sementara ibu, untuk mengamankan ekonomi keluarga harus bekerja.
Drama tangisan itulah, yang hampir dialami tiap hari, waktu umur 4 atau 5 tahunan, ketika harus menerima kenyataan dititipkan tetangga hingga siang hari.
Situasi beralih, beberapa adik yang lahir kemudian, hampir tak mau ditinggal karena ingin ditemani bermain. Kalau tidak, telinga ini harus mendengar tangisan-tangisan penuh harap.
Tiap-tiap orang mungkin saja berbeda, bagaimana menyikapi hidup ini, yang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman atau pembelajaran yang diperolehnya.
Bersyukur, bahwa suatu pengalaman pahit pernah dialami, dan akan menjadi pundi-pundi kebanggaan ketika hal itu diceritakan kembali sebagai alasan kesuksesannya.