Memulai kembali setelah libur lebaran memang sulit-sulit mudah. Bagaikan sayur tanpa garam, ketika banyak teman-teman sekerja yang masih bersantai menuntaskan silaturahminya.
Sementara kita, yang tak punya atau tak harus cuti melenggang gamang, bekerja sesuai jadual. Tertatih-tatih, berusaha mengembalikan semangat kerja yang tergerus suasana libur lebaran.
Saatnya bangkit, ketika ada tersisa waktu, memberi salam Idul Fitri mohon maaf lahir bathin, kepada kawan dan atasan yang senasib harus masuk kerja.
Tuluslah berlaku, jangan dibuat hambar karena diucap hanya di bibir. Bertanya kemana dan apa yang dilakukan saat berlebaran, memuluskan arus komunikasi yang mungkin sempat terluka.
Ikut bahagia tanpa perasaan iri, larut dalam suasana hati kawan, begitu pula sebaliknya. Suasana beku mencair, tanpa kesedihan dan gerutu mengapa kita harus masuk kerja.
Terciptanya bahagia, dalam suasana akrab tanpa dendam, bekal yang baik untuk pergaulan dan komunikasi hubungan kerja selanjutnya.
Sirnanya galau, berbalut kebahagian, meski terkesan sekadarnya, menjernihkan suasana hati agar mampu berpikir lebih bermakna.
Mulai berkata, kehadiran diri diperlukan bagi jalannya roda keberlangsungan usaha tempat kita melabuhkan masa depan. Setiap tetes keringat yang dihasilkan, bukanlah akan menguap sia-sia. Bahkan, rasa bersyukur membumbung ketika apa yang kita lakukan dengan kebanggaan yang sesadar-sadarnya.
Boleh jadi, apa yang kita lakukan selama ini menjadi ritual, bagaikan robot tanpa ada kesempatan bersyukur dan menata diri. Bukankah nyata diperoleh bahwa hasil kerja kita telah dinikmati anak-istri, keluarga, dan sesama.
Suasana lebih tenang, dikarenakan banyak kawan yang masih menghabiskan waktu liburnya, mendongkrak cara berpikir bahwa bersyukur masih bekerja itu suatu yang hebat.
Bermula dari suasana hati yang tertata indah, lahirlah kerendahan hati untuk mengulik kelemahan diri, memperbaiki sikap kerja dan hubungan antar kawan dan juga dengan atasan.