Lihat ke Halaman Asli

RATU KALINYAMAT; RAINHA DE JAPARA SENORA DE RICA

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13724978431192724783

[caption id="attachment_251963" align="alignleft" width="144" caption="Imajiner; Ratu Kalinyamat"][/caption]

Jepara dalam Sejarah

Siapa yang tak mendengar nama Jepara; Kota Ukir, Kota Kartini, Kota Maritim, sebut saja dan akan kamu dapati semua istilahnya. Dari data yang saya kumpulkan, teori yang paling mendekati kebenaran: Jepara berasal dari kata “Ujung Para”. Dari kata ini muncul perkataan “Ujung Mara”, “Jumpara”, kemudian menjadi JEPARA (Japara); yang berarti tempat pemukiman para pedagang yang berniaga dari dan ke berbagai daerah.

Jauh sebelum masa kerajaan Jawa, berada di ujung sebelah utara Pulau Jawa (Japara) ada sekelompok penduduk yang diyakini berasal dari Yunan Selatan. Japara waktu itu masih terpisah oleh selat Juwana. Japara waktu itu hanya dihuni 100 orang yang menjadi Bandar perdagangan atas jasa Arya Timur. Sebelum Demak Bintoro lahir, Jepara sudah ada mobilitas penghuninya.

Dalam catatan penjelajah Ie Tsing—jauh sebelum teori Tome Pires muncul—dari sejarah Dinasti Tang (618-906 M), musafir ini mendarat di suatu tempat yang dikenal sebagai Holing pada tahun 674 M. Holing, atau Keling (Kaling), atau Kalingga disebut Ie Tsing sebagai Negara tegas yang dipimpin Ratu Shima yang tersohor dengan ketegasannya.

Tome Pires, penulis buku Suma Oriental yang berasal dari Portugis, menerangkan bahwa Japara baru dikenal pada abad ke-15 (1470 M) sebagai Bandar kecil yang baru dihuni 90-100 orang yang dikuasai Arya Timur dan berada di bawah pemerintahan Demak. Arya Timur meninggal, dan digantikan Pati Unus (1507-1521 M). Di tangan Pati Unus, Japara menjadi kota Bandar; pelabuhan niaga dan militer.

Pati Unus dikenal dengan perlawanannya terhadap Portugis di Malaka, dan menjadi mata rantai perjuangan Faletehan (Fatahillah), iparnya, yang berkuasa (1521-1536 M) setelah Pati Unus meninggal. Sejak Fatahillah meninggal, kekuasan berada di tangan putranya, Sultan Trenggono, pada tahun 1536 M. Mulai saat itu, Japara diserahkan pada Sultan Hadirin (menantunya) dan Ratu Retno Kencono.

Kemelut yang menyeret Istana Jepara terjadi ketika Sultan Trenggono tewas dalam ekspedisi militer di Panarukan, Jawa Timur, pada tahun 1546 M; para pangeran (anak-anak Sultan Trenggono) saling berebut kekuasaan Demak dan memakan korban dengan tewasnya Pangeran Prawoto dan Pangeran Hadirin oleh Arya Penangsang pada tahun 1549 M.

RAINHA DE JAPARA SENORA DE RICA

Ketika Sultan Trenggono memberikan kuasa Sultan Hadirin dan Ratna Kencana untuk memerintah kerajaan di Kriyan, Japara berkembang menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa; ekspor dan impor. Meski dipaksa menjanda sejak suaminya dibunuh Arya Penangsang, dengan tangannya sendiri Ratna Kencana membuat Japara menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang dirintis sejak masa Kerajaan Demak. Penguasa Japara pun dikenal dengan semangat anti-kolonialisme, dan terbukti dengan ekspedisi militer yang dipimpinnya menggempur Portugis pada tahun 1551 M dan 1574 M di Malaka. Maka tak heran jika Portugis sendiri menyebutnya Rainha De Jepara Senora De Rica; Ratu Jepara, seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.

Kalinyamat adalah ibu kota Japara waktu itu. Letaknya ada di desa Kriyan. Di desa inilah Istana Kerajaan Japara berdiri. Ratna Kencana yang muncul sebagai penguasa tunggal Japara akhirnya dikenal sebagai Ratu Kalinyamat; Rainha de Japara Senora de Rica itu. Di desa ini, Kalinyamat, Ratu Ratna Kencana membudayakan seni ukir hasil perpaduan ukiran Majapahit dengan seni Patih Badar Duwung yang berasal dari China.

Ratu Ratna Kencana meninggal tahun 1579 M., menguasai Japara 30 tahun lamanya. Pusaranya di desa Mantingan, berdampingan dengan makam suaminya, Sultan Hadirin. Kelahiran Japara dinobatkan berbarengan dengan Ratna Kencana menjadi Ratu Japara, yang ditandai dengan Candra Sengkala: Trus Karya Tataning Bumi, 1549, pada tanggal 10 April.

TAPA WUDO SANG RATU

Menurut Imam Al-Asy’ari, iman berarti pemenuhan tiga unsur yang terdiri dari tashdiq dalam hati, ikrar pengakuan lisan, dan pengaktualisasian dalam wujud perilaku. Pemenuhan ini meliputi dua dimensi sakral dalam Islam; Aqidah dan Syariah.

Dalam konteks Topo Wudo yang dilakukan Ratu Ratna Kencana, adalah ikhtiar mewujudkan dendam. Dan di sisi lain, setiap perbuatan yang dilakukan Sang Ratu memiliki makna yang tidak biasa.

Sultan Fatah (Faletehan/Fatahillah) adalah Raja Demak I. Ketika meninggal, tahta kerajaan turun ke anaknya, Pangeran Sebrang Lor (Raja Demak II). Di kemudian hari Pangeran Sebrang Lor meninggal, dan digantikan Pangeran Trenggono (Raja Demak III). Kemelut di Istana Demak muncul ketika Sultan Trenggono meninggal:

Pangeran Sekar adalah Pangeran Trenggono, anak dari Istri ketiga Sultan Fatah, putri Adipati Jipang. Kedua pangeran ini berhak atas kuasa kesultanan. Dari segi umur, Pangeran Sekar lebih tua dari Pangeran Trenggono. Hanyasaja Pangeran Trenggono adalah anak dari istri pertama Sultan Fatah, putri Sunan Ampel, oleh karena itu Sultan Trenggono merasa berhak menjadi Raja Demak selanjutnya. Pangeran Prawata, anak Sultan Trenggono, membunuh Pangeran Sekar, karena dianggap penghalang Ayahnya menjadi raja. Orang Demak meyakini pembunuhan ini terjadi di Sungai Tuntang, sedangkan masyarakat Blora menganggap pembunuhan ini di Sungai Gelis.

Arya Penangsang adalah putra dari Pangeran Sekar yang kemudian tahu bahwa ayahnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Arya Penangsang bermaksud menuntut darah ayahnya, dengan membunuh keluarga Trenggono, terlebih hal itu mendapat dukungan dari gurunya, Sunan Kudus. Dengan menyuruh Rangkut, Arya Penangsang memberi perintah membunuh Pangeran Prawata, dan tewaslah dia. Di tempat lain, utusan Arya Penangsang berangkat ke Pajang untuk membunuh Hadi Wijaya (Jaka Tingkir), adik ipar Ratu Kencana, namun tak berhasil.

Pangeran Prawata adalah adik Ratna Kencana (Ratu Kalinyamat). Ketika mendengar kabar adiknya tewas di tangan utusan Arya Penangsang, bersama Sultan Hadirin, ia pergi menghadap Sunan Kudus untuk mendapatkan keadilan. Apa mau dikata, Sunan Kudus lebih “mendukung” dendam Arya Penangsang. Hal ini yang membuat hati Ratu Kencana dan Sultan Hadirin sakit hati.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Istana Japara, rombongan Ratu Kencana dan Sultan Hadirin dihadang serongpati-serongpati (pembunuh bayaran) utusan Arya Penangsang, dan berhasil membuat Sultan Hadirin terluka parah kemudian tewas.

Kehilangan dua orang yang dicintai, Pangeran Prawata dan Sultan Hadirin, membuat Ratu Kencana sangat terpukul. Dan kisah Tapa Wudo yang dilakukan Ratu Kencana demi meminta balas kematian Arya Penangsang pada Tuhan, dimulai. Tautan: KLIK DISINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline