Tahun 1955 kontestasi pemilu untuk pertama kalinya dilaksanakan, saat bangsa Indonesia baru 10 tahun merdeka dengan segala dinamika tantangan politik yang dihadapinya terkait eksistensi negara, mulai dari agresi militer belanda, perundingan-perundingan politik dengan belanda dan sekutunya serta pemberontakan pemberontakan sparatis dalam negeri.
Sebuah kondisi yang sangat tidak ideal bagi pesta demokrasi di suatu negara yang belum stabil secara politik, belum aman dari sisi pertahanan negara, penduduknya lebih 60% buta huruf dan miskin, tidak didukung pranata sosial yang memadai, jauh dibawah standar indeks prasyarat sistem demokrasi.
Bagi Herbet Feith, seorang profesor ilmu politik asal Australia yang diperbantukan sebagai advisor untuk pelaksanaan pemilu 1955, sebagaimana digambarkan dalam bukunya " The Indonesian Election Of 1955", dia berdecak kagum karena dalam kondisi sosial mayoritas penduduknya buta huruf dan miskin justru Pemilu 1955 bukan saja aman dan lancar akan tetapi juga berlangsung jujur, adil dan demokratis dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dan mencerminkan "kecerdasan batin"pemilihnya.
Dalam konteks inilah, Irene Tinker dan Mill Walker, dua peneliti pemilu Indonesia dan India yang dikutip oleh Herbet Feith dalam bukunya di atas menulis dalam kesaksiannya, "Indonesia berani mempertaruhkan proses pemilu pada tingkat kecerdasan para penduduk desa yang buta huruf, dan pertaruhan itu dibayar tunai".
Pelajaran yang dapat kita petik dari "kemuliaan" pemilu 1955 dalam konteks menghadapi proses pemilu 2019 bagi kita semua baik pemerintah, penyelenggara pemilu, para kontestan, pendukung dan rakyat secara umum yang dalam segala hal lebih "modern" dibanding pemilu 1955, setidaknya:
Pertama, pemilu 1955 dilaksanakan dengan persiapan kurang dari dua tahun.Bung karno (PNI) sebagai Presiden/kepala negara, Burhanudin Harahap (Masyumi) sebagai Perdana Menteri dan Panitia Pemilu dari unsur partai politik peserta Pemilu dengan kewenangan yang melekat dalam jabatannya tidak bekerja untuk "memenangkan" partainya kecuali berkomitmen demi mensukseskan pemilu berlangsung jujur, adill dan demokratis.
Inilah satu dari "kemuliaan" warisan Pemilu 1955 yang diapresiasi para pemantau Pemilu dari belahan dunia, yang dalam aspek-aspek tertentu harus diadaptasi dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Prinsip jujur , adil dan demokratis tdk berhenti sebagai dasar yuridis melainkan aplikatif dalam seluruh tahapan tahapannya agar legitimated hasil dan produks politiknya.
Kedua, hampir seluruh representasi sosial dengan perbedaan ideologi yang tajam (nasionalis, agama, komunis) dan unsur profesi serta etnisitas (seperti partai pegawai Polisi, partai keturunan Arab, Sunda, Tiongha dan lain lain) tercermin dalam partai-partai peserta pemilu 1955.
Meskipun terkadang saling sindir secara tajam akan tetapi tidak mengurangi "kemuliaan" dialektika gagasan dan kontestasi program yang ditawarkan dalam konteks meyakinkan dan merebut " hati" rakyat pemilihnya.
Sesuatu yang mulai hilang dalam narasi narasi pemilu 2019 yang "sesak" dengan saling lempar ujaran kebencian, ujaran keangkuhan dan tuduhan stigma negatif lainnya. Seolah olah apemilu hadir untuk saling "menghancurkan" satu sama lain sesama anak bangsa.
Ketiga, Pemilu 1955 diikuti 118 peserta Pemilu, terdiri dari 38 partai politik, 32 gabungan ormas dan 48 calon perseorangan dengan daftar pemilih tetap sebesar 43.104.464, dibagi 16 daerah pemilihan.