Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (bdk. Kejadian 2:22-23)
Begitulah singkatnya kisah penciptaan seorang perempuan, yang diambil dari tulang rusuk laki-laki. Tulang rusuk berada di bagian tengah manusia, bukan di bagian bawah pun di bagian atas. Ini merupakan isyarat awal dari Allah bahwa perempuan bukanlah berada di bawah (kendali) laki-laki pun di atas, namun sejajar dengan laki-laki.
Sejajar berarti sejalan (sama arah, jarak dan tujuannya) serta sama derajatnya. Inilah kiranya yang diharapkan lewat tulisan ini untuk mengingatkan laki-laki dan (terutama) perempuan untuk saling mengisi sekaligus membuang jauh-jauh bahwa ada pihak yang derajatnya lebih tinggi dari pihak yang lain. Dalam kasus ini kebanyakan laki-laki merasa derajatnya lebih tinggi daripada perempuan dan perempuan merasa (bahkan mengamini) derajatnya lebih rendah dari laki-laki.
Adalah R.A. Kartini (1879-1904) perempuan pemikir awal mengenai hak-hak perempuan dan penganjur pendidikan (untuk) perempuan. Ia percaya jika perempuan terdidik, maka ia dapat mendidik anak dan keluarga lainnya, hingga ia mendirikan lembaga pendidikan bagi perempuan. Surat-suratnya yang kita kenal (dan dirangkum) dalam buku “Habis gelap terbitlah terang” tidak hanya dikenal di kalangan gerakan perempuan, tetapi juga di kalangan gerakan nasional yang telah menginspirasi banyak orang untuk (terutama perempuan) menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sebelumnya, telah tercatat beberapa tokoh perempuan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sebut saja Nyi Ageng Serang (1752-1825), Martha Christina Tiahahu (1818), Cut Nyak Dien (1850-1908) dan Cut Meutia (1870-1910). Para pejuang perempuan itu, meski tidak secara spesifik menyebut hak-hak perempuan, namun mereka menjadi inspirasi bagi para pejuang hak-hak perempuan sesudahnya, mereka memberikan contoh jika tidak hanya laki-laki yang (bisa) membela mati-matian akan hak-haknya, perempuan juga mau, mampu, bisa sejajar dengan laki-laki.
Kembali kepada Ibu Kartini, memang terkenal dengan pakaian kebayanya. Hingga sampai sekarang jika orang memakai kebaya tidak jarang orang yang melihatnya menyamakan (yang memakainya) dengan Ibu kita Kartini. Sampai di beberapa kampus, jika akan melaksanakan yudisium, mahasiswa perempuan ‘diwajibkan’ memakai kebaya, bersanggul semirip mungkin dengan foto Ibu Kartini yang sering kita lihat, digantung di banyak tempat, simple-nya silahkan browsing di internet, ketik “kartini” maka, akan muncul foto Ibu Kartini berkebaya dan sanggul khas pada zamannya.
Ini kasus kecil tapi (agaknya) mewakili gambaran perempuan kebanyakan (di Indonesia) yang teman (perempuan) penulis alami. Ada sebenarnya beberapa perempuan itu yang keberatan dengan aturan itu, tapi tidak berani membantah, mengutarakan pendapat tidak terbiasa baginya, bayangkan saja, padahal dia sudah akan diwisuda. Seolah-olah kebaya dan sanggunl inilah yang menjadi perjuangan ibu Kartini. Kita selalu tenggelam dengan simbol-simbol yang kiranya tidak berarti jika tidak kita implementasikan dengan baik arti dari semua simbol yang ada.
Cita-cita ibu Kartini tentang emansipasi yang mulia itu perlahan hilang tertelan kegelapan, terang tidak (belum) kunjung tiba. Kita memakai simbol tanpa memaknai (mengetahui) simbol itu sendiri. Pendidikan sudah dikecap hingga Perguruan Tinggi, tapi rasa-rasanya hasilnya nihil, apa gerangan yang membuat semua ini menjadi kenyataan? Perempuan itu, tidak mengenal siapa dirinya sendiri.
Ini, selanjutnya merupakan seruan (menganjurkan untuk menyebarluaskan idenya ini kepada semua perempuan yang kita kenal) saudara Lintong Simaremare, yang penulis kutip dan berusaha mengembangkan opininya tentang perempuan dan kemampuan yang dimilikinya. Kiranya tepat untuk menggugah (kembali) semangat perempuan untuk terus berjuang demi hak-haknya.
Beginilah perempuan, perempuan mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan. Perempuan juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan bisa bekerja 18 jam sehari (bahkan lebih). Bayangkan saja seorang perempuan yang bekerja sebagai guru, mempunyai anak, dia harus bangun pagi-pagi benar untuk menyiapkan sarapan anak-anak dan suaminya, setelah selesai menunaikan tugas di sekolah, harus memasak juga di sore hari untuk makan malam bersama keluarga. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan rutin lainnya.