Lihat ke Halaman Asli

Irul

xxxxx

Curhat Seorang Pejabat Negara

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya hidup ini sederhana. Yang rumit itu cuma liku-liku dan tafsirannya. Jutaan nyamuk mati setiap hari dimakan predator dan disemprot baygon. Milyaran serangga mati setiap saat karena disemprot peptisida di sawah-sawah. Jiwa-jiwa itu musnah dan yang tersisa berkembang biak dengan cepatnya. Begitu juga manusia, jutaan orang mati setiap hari. Entah karena perang, bencana, sakit atau tua. Sama seperti nyamuk dan serangga, yang tersisa juga berkembang biak dengan cepatnya. Kenapa kita harus takut terhadap kematian?. Apakah karena sejak kecil kepala kita telah dipenuhi oleh gambaran malaikat, iblis, sorga dan neraka?. Semua itu hanya dugaan dan tetap tinggal sebagai dugaan semata. Jutaan manusia telah lenyap ditelan bumi, yang masih hidup bersyukur karena masih melihat matahari.

Dan aku?. Kalau tak pintar-pintar berkelit, pasti musnah juga dimakan oleh atasan atau rival-rivalku. Mereka seperti buaya yang senantiasa harus mendapatkan mangsa. Mengapa aku harus idealis?. Mengapa tak menjadi buaya saja seperti hampir semua pembesar negri?. Aku pikir tak perlu melankolis-melankolisan. Nilai-nilai luhur kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan.Humaniora hanya indah jika dipidatokan oleh para mahaguru di universitas-universitas. Berbahagialah kalian yang diluar universitas, karena kalian dibenarkan bertindak dengan segala cara.

Dulu, waktu tugas itu diberikan kepadaku, aku benar-benar terkejut. Tapi atasanku, Bapak Mentri Besar mengatakan, “Penunjukkan Bapak atas perintah Bapak Presiden sendiri. Bapak dinilai yang paling pas memimpin Lembaga ini. Ini Lembaga Spesial, Lembaga yang mengurusi duit begitu besar. Berbagai kepentingan terlibat didalamnya. Masalah sensitif hanya tangan halus yang bisa mengerjakannya”. Aku hanya terdiam. Tuhan!, beri aku kekuatan. Ini kata nuraniku. Murni. Tak ada kepentingan pribadi yang tersangkut didalamnya. Tapi, mungkinkah itu?. Dalam komunitas buaya seperti ini?. Barangkali orang lain akan mudah melakukannya. Aku tahu di Lembaga ini kejujuran hanya akan menjadi bahan tertawaan. Aku tidak tahu caranya, bagaimana aku harus mempertahankan prinsip selama memimpin Lembaga ini. Ah!, tak perlu pusing-pusing dulu. Bagaimana nanti saja, tiba masa tiba akal.

Tak ada kekuatan yang dapat menghalang-halangi kemauan Kekuasaan. Sekalipun itu melanggar norma-norma kemanusiaan. Pada akhirnya ini berarti aku tetap harus melaksanakan tugas-tugasku. Aku harus mengerjakan. Dengan tenaga, tindakan dan cara apapun demi memuaskan hati atasanku, untuk kepentingan atasannya lagi. Aku, seorang pejabat negara, seorang abdi dan pemegang amanat rakyat harus berupaya dengan segala cara. Hati kecilku tetap tak rela dengan kenyataan ini. Rasa-rasanya aku masih punya kehormatan. Tapi aku terlalu rapuh. Tenagaku tak mampu menahan tekanan. Kenyataan ini telah menyebabkan tangan, kepala dan hatiku terkotori. Terkotori oleh lumpur kehidupan yang hanya bermanfaat buat para oportunis.

Menjadi alat kekuasaan seperti ini, makin keatas makin lebar mulut dan kuping semakin budeg, makin kebawah makin lebar kuping dan mulut semakin terkunci. Yang namanya atasan selalu bukan main jaimnya. Apalagi yang tak cukup pendidikan. Sedikit-sedikit marah. Jika aku kena marah, gantian aku memarahi bawahanku. Bisa jadi bawahanku memarahi istrinya. Istrinya memarahi anaknya, dan anaknya memarahi babunya. Sampai disini baru berhenti, karena babu adalah manusia paling rendah dalam strata kehidupan. Dia hanya bisa mengadu kepada Tuhan, menuntut haknya atas surga dan mendoakan agar semua majikan masuk neraka. Tapi esoknya dia akan bekerja lagi seperti biasa, dan dimaki lagi. Meninggalkan majikan?. Tak mungkin!. Sama persis seperti aku. Tak akan melepaskan jabatan, betapapun derasnya makian dari atasanku.

Bagaimanapun aku tidak ingin menjadi abnormal. Tapi selalu ada suatu pertarungan sengit dalam benakku, antara harapan dengan kenyataan sehari-hari yang aku hadapi. Manakah yang harus kupilih?. Prinsip atau karier?. Moral atau jabatan?. Aku sadar membutuhkan kedua-duanya. Padahal aku juga sadar mustahil mengambil dua-duanya. Itulah yang menjadi masalah kehidupan dan kejiwaanku sekarang. Ini adalah masalah pribadi dan aku sendiri yang dapat memecahkannya. Hidup adalah pilihan-pilihan. Kenapa aku harus memegang prinsip jika ada pilihan lain yang lebih realistis?. Pilihan yang membuat keluargaku sejahtera?. Bukankah itu tujuan hidup kita?. Apa yang lebih membahagiakan selain daripada melihat anak istri berbahagia?. Kecurangan hanya awal-awalnya saja mengganggu nurani, lama-lama akan menjadi normatif dengan sendirinya.

Aku selalu punya dalih, bahwa semua yang aku perbuat,yang diperbuat atasanku dan atasannya lagi, adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Betapa hebat slogan suci ini. Dia menjadi panji-panji untuk membenarkan segala tindakan. Sebenarnya, hati kecilku tak bisa menerima ini. Namun aku telah terseret terlalu jauh sebagai bagian dari perabot negara. Hanya ada satu jalan yang harus ketempuh untuk menyelamatkan diri, yaitu bermuka dua dan berhati ganda. Setelah terlatih membiasakan diri, aku terlahir kembali sebagai aku manusia baru yang berwatak baru. Namun aku masih tetap merindukan aku yang dulu. Aku yang tulus, sederhana dan memegang teguh nilai-nilai kebajikan. Aku tahu, bagaimana pertarungan batin dua aku ini saling ejek-mengejek dan saling kalah-mengalahkan. Perang dalam diam. Dua-duanya harus menang. Yang satu bernama prinsip, yang lain bernama penghidupan.

Istri dan anak-anakku selama ini telah melihat aku sebagaisuami, ayah dan pejabat yang sukses. Seorang suami dan ayah yang mencintai keluarga dan seorang abdi negara yang terpercaya. Semoga mereka tetap menilai aku demikian. Tetapi aku sudah tidak jujur terhadap mereka. Jika suatu saat aku sudah tiada, mereka akan kehilangan prinsip-prinsip yang mulia karena sandiwaraku. Karena aku yang sesungguhnya adalah sehina-hinanya manusia, setengik-tengiknya bajingan. Aku adalah seorang budak kehidupan yang kehilangan prinsip. Aku pribadi yang kalah. Aku telah gagal menjadi manusia yang bebas dari pretensi dan ambisi. Aku adalah seorang ayah yang tidak mampu memberikan contoh kemuliaan bagi anak-anaknya.*)

*) ditulis berdasarkan curahan hati seorang teman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline