Lihat ke Halaman Asli

Irul

xxxxx

Kenakalan Para Kompasianer Genit

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Memancing pembaca untuk mengerubuti artikel-ertikel kita itu gampang. Cukup dengan setetes sensasi yang dibumbui dengan sedikit kontroversi, orang-orang akan berduyun-duyun, berdatangan guna memenuhi rasa penasaran yang menggelitik benaknya.

Tetapi, tulisan-tulisan semacam itu biasanya berumur pendek. Hanya sebentar menarik perhatian, dipergunjingkan dan setelah itu ditinggalkan pembaca. Publik tidak lagi percaya. Padahal kepercayaan tidak pernah datang dua kali. Lihatlah koran “kuning” yang mengeksploitasi sex dan kriminal yang banyak lahir di awal reformasi dulu. Kemana mereka ini sekarang?. Satu persatu hilang dari peredaran.

Lantas, bagaimana dengan tulisan-tulisan sejenis yang acapkali terposting di Kompasiana?. Bukankah banyak juga Kompasianerspesialis postingan “kuning” yang menghuni rumah kita ini?. Apakah mereka juga ditinggalkan pembaca?. Ternyata tidak!. Bahkan, makin lama semakin banyak penggemarnya. Tidak seperti nasib sejawatnya di dunia nyata, artikel-artikel sensasional, kontroversial dan sensual di Kompasiana tampaknya memiliki pangsa pasarnya tersendiri.

Dulu, sering saya tak habis pikir, apanya yang menyentuh dari tulisan-tulisan berbau sensasi, kontroversi dan sensual ini sehingga banyak menuai vote. Oleh karenanya hampir selalu berhasil bertengger di kolom TER. Namun, setelah saya pikir-pikir kembali, mungkin bukan itu masalahnya. Paling tidak, menurut pendapat saya demikian.

Ya, menurut pandangan saya, artikel-artikel “kuning” di Kompasiana memang berbeda motif dengan koran “kuning” yang ditinggalkan publik. Saya sendiri menyikapi postingan-postingan semacam ini tak lebih dari sekedar ekspresi kegenitan dari sang penulis belaka. Mereka hanya ingin menarik-narik perhatian, bergaya-gaya agar dicolek para pembaca. Bagi saya, tulisan berbau sensasi dan kontroversi di Kompasiana merupakan manifestasi dari “kenakalan” Kompasianer yang disebabkan oleh kejenuhan mereka terhadap hal-hal yang serius dan monoton. Atau mungkin juga, itu adalah “kenakalan” dan “keusilan” yang memang sudah sifat bawaan mereka dari sononya.

Kenakalan adalah sikap kekanak-kanakan. Orang dewasa yang kehilangan sifat kekanak-kanakannya, dia akan kehilangansifat unik kemanusiannya. Dia menjadi dingin dan jaim seperti robot. Tidak semua kenakalan negatif. Anak nakal biasanya cerdas, lucu, kreatif, setia kawan dan suka bergaul. Ekspresi kreatif dan gaul inilah yang saya tangkap dari kenakalan para Kompasianer genit. Tak mengherankan jika mereka banyak teman di Kompasiana. Tentu teman-teman sesama gaul. Dan tak bisa dihindari jika Kompasiana juga akhirnya dijadikan ajang gaul bagi mereka. Kadang-kadang kenakalan-kenakalan ini memang menjengkelkan. Tapi kita tak perlu gusar, karena namanya juga kenakalan anak-anak, nikmati saja unsur lucunya.

Kondisi ini, sering menyebabkan saya merasa “tertipu” ketika harus memilih postingan di kolom TER. Postingan yang saya harapkan bisa “nendang” karena banyak menuai vote, ternyata cuma berisi tulisan usil para Kompasianer “nakal”. Inilah yang menyebabka vote tidak lagi saya pahami sebagai penilaian atas bagus tidaknya sebuah tulisan, tapi sudah berubah menjadi colekan gaul para Kompasianer yang sedang berinteraksi.

Bagaimanapun, Kompasiana bukanlah seperti Facebook atau Twiter. Desakan untuk menyampaikan pesan secara spontan seringkali mengabaikan sikap reflektif. Opini teramat gampang, mengikuti pola yang sudah terbentuk. Prasangka tak ditinjau lagi. Kompasiana adalah ajang tulis-menulis. Diperlukan syarat-syarat tertentu bagi sebuah tulisan sehingga bisa ber”tenaga” agar pembaca merasa comfort ketika menyimaknya. Tulisan yang mendatangkan rasa nyaman tidak selalu harus sensual, sensasional atau kontroversial.

Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi tak perlu membumbui percintaan Ikal dan A Ling dengan hal-hal sensual untuk membikin pembacanya terkesan. Saya teringat, ketika A Ling membonceng sepeda dan berkali-kali menanyakan apakah Ikal masih kuat mengayuh. Maklum mereka banyak melewati tanjakan. Ikal sendiri heran bagaimana dirinya menjadi sekuat itu. Sampai di Pasar Manggar keringat Ikal bercucuran. Aling memandang Ikal dan mengucapkan sesuatu yang membuat dunia dimata Ikal rasanya berputar, matahari berpijar-pijar. “Curi aku dari pamanku”, kata A Ling.

Novel itu memukau karena Andrea Hirata banyak menyediakan ruang kosong bagi pembacanya untuk ikut berimajinasi. Dia sangat piawai dalam merangkai suasana, tempat, peristiwa dan membebaskan para tokohnya dari pesan moral. Semua itu ia sajikan secara hidup seolah-olah tanpa campur tangan penulisnya. Kepedihan cintanya yang menyayat hati ia alirkan melalui ujaran-ujaran yang sangat jenaka dan nakal. Tak ada airmata dalam tangisnya. Keterbelakangan sistem pendidikan di kampungnya diutarakannya dengan mentertawakan diri sendiri. Tak ada secuilpun protes kepada pemerintah. Andrea Hirata menyampaikan nilai-nilai tanpa menggurui. Nilai-nilai itulah yang merupakan ruh tulisannya.

Estetika sangat berpengaruh terhadap kekuatan karya tulis. Andre Hirata menampilkan estetika bukan hanya dari kejeliannya dalam memilih kata dan menyempurnakan kalimat-kalimat, tetapi juga nilai-nilai yang dimasukannya kedalam cerita. Kita akan merasa nyaman menyimak tulisan yang mampu menjadikan dirinya sebagai sahabat bila dibutuhkan. Dapat menghibur disaat kita susah, membakar semangat ketika kita nglokro dan bergairah waktu mencerna isi tulisan. Andrea Hirata telah berhasil melakukan itu, tanpa sensasi, tanpa kontroversi dan tanpa sensualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline