Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. (Pramoedya Ananta Toer)
Tahukah Kawan-Kawan Kompasianer nama kakeknya kakek Anda, darimana asal-usulnya dan dimana letak kuburnya?. Saya sendiri tidak tahu. Saya pikir sebagian besar Kompasianer juga tidak tahu. Padahal era mereka dengan kita hanya terpaut kira-kira 100 tahun. Artinya, 100 tahun yang akan datang, kita akan bernasib seperti kakeknya kakek kita, benar-benar hilang dari muka bumi, tidak ada yang tahu letak kubur kita, bahkan tak satupun keturunan kita yang mengenal nama kita, apalagi mengenangnya.
Sebaliknya, sekarang kita masih mengenal Plato dan Sokrates, dan masih merasakan mereka “hidup” dan “bicara” kepada kita, walaupun mereka sudah meninggal ribuan tahun yang lalu.
Saya bisa membayangkan pikiran-pikiran Imam Ghazali waktu masih muda, walaupun ia telah wafat 1000 tahun yang lalu. Tetapi, saya tidak bisa membayangkan pikiran-pikiran kakek saya sendiri waktu masih muda, padahal dia baru meninggal 30 tahun yang lalu.
Imam Ghazali, Plato dan Socrates seolah-olah hidup dan abadi, karena mereka menulis. Sedangkan kakek buyut kita hilang tak berbekas karena mereka tidak pernah menulis. Maka, sangat tepat apa kata Pram diatas, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Banyak orang pintar, rajin membaca namun jarang menulis. Mereka punya banyak ilmu dan pengalaman, namun tidak pernah meneruskannya lewat tulisan.Hal ini sangat disayangkan, karena apa yang mereka miliki hanya akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Akan berbeda halnya jika orang tersebut menuliskan apa-apa yang dia kuasai. Tentu dampaknya akan lebih luas. Dia bisa membawa pengaruh dan manfaat kepada orang lain dan akan terus berguna buat generasi selanjutnya.
Sering kita berdalih, bahwa para tokoh diatas bisa menulis karena mereka memang orang-orang yang berbakat. Sikap inilah yang menyebabkan kita enggan menulis atau tidak pernah menulis sama sekali.Padahal menulis tidaklah sulit, cukup dengan keep your hand moving, setelah itu lihat hasilnya.
Mungkin pada awalnya tulisan kita berantakan. Tak mengapa, tidak ada orang yang langsung sukses pada kesempatan pertama. Kita punya banyak kesempatan untuk memperbaikinya Dengan melatih dan membiasakan diri, Anda akan semakin terampil.
Tak mengapa kita mengutip gagasan dan gaya penulis lain pada awalnya. Akan tetapi itu adalah sebuah tahapan kecil untuk kemudian menjadi diri sendiri yang cemerlang, baik dalam hal ide dan gaya penulisan. Semakin sering menulis, Anda akan menyadari perbedaan antara tulisan berkualitas dan tidak. Anda juga mulai bisa membedakan dengan jelas mana tulisan yang mudah dimengerti dan mana yang harus dengan mengernyitkan dahi.
Saya sendiri tidak pernah bergiat dalam ajang tulis-menulis sebelum bergabung dengan Kompasiana. Dan saya merasakan banyak mendapat manfaat setelah menjadi Kompasianer, terutama buat anak-anak saya yang sudah menginjak dewasa. Mereka jadi lebih mengenal saya dan lebih memahami pandangan-pandangan saya terhadap masalah kehidupan. Mereka juga lebih faham atas sikap saya terhadap masalah baik-buruk, keadilan, agama, politik, sosial, termasuk sudut pandang saya terhadap peristiwa-peristiwa. Sesuatu yang sangat jarang kami jadikan obyek pembicaraan dalam keseharian kami di rumah.
Dengan kata lain, karena anak-anak saya sering mencuri baca postingan-postingan saya di Kompasiana, mereka jadi mengenal saya lebih dari yang selama ini dikenalnya: sekedar emak-emak bawel yang cuma pintar memasak. Oleh karena itu, Kawan!, berhati-hatilah jika Anda berniat menulis hal-hal yang berbau sensual. Jangan sampai nantinya anak cucu Anda yang membaca tulisan-tulisan Anda akan merasa, bahwa mereka adalah keturunan orang gatelan. Bagaimanapun, tulisan-tulisan Anda akan abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H