Kata orang waktu itu mengalir seperti sungai. Tidak ada yang berulang. Yang ada hanya perubahan. Tapi berbeda dengan aliran sungai, waktu membentang dari hulu yang tak bisa diukur dan menuju ke hilir yang juga tak bisa diukur. Dengan kata lain, kita berada dalam waktu yang tunggal, saya katakan tunggal disini, karena sesungguhnya waktu tak bisa diketahui apakah satu atau bukan.
Waktu sebagaimana kita kenal, seperti tahun, bulan, hari, jam dan detik sebenarnya bukanlah waktu yang sesungguhnya, melainkan waktu yang sudah diubah menjadi ruang. Kita membagi-bagi waktu agar ada satuan-satuan yang bisa dihitung, layaknya tukang jagal yang memotong-motong daging sapi, mana yang cocok untuk steik, semur atau sate. Waktu yang hidup kemudian diganti waktu matematis, digunakan sebagai standar pengukuran masa pensiun, pembayaran gaji atau proses produksi.
Kalender dibuat untuk itu. Yang membuatnya adalah akal yang analistis. Namun dalam perkembangannya, waktu yang dibelenggu oleh sistem numerik ini kemudian oleh manusia dibebani makna-makna. Masuklah kedalamnya tabu-tabu, mitos-mitos dan tahayul-tahayul. Lantas, apakah kalender Islam juga mengusung makna dengan cara semacam itu?.
Tanggal satu, bulan satu, tahun satu Hijriyah sebenarnya baru diputuskan sekitar 30 tahun sesudahnya, yaitu pada jaman khalifah Umar. Saat itu terjadi perdebatan sengit dalam pembahasan tentang kapan tahun pertama kalender Islam harus dimulai. Apakah dari hari kelahiran Nabi SAW, hari wafat beliau ataukah ketika turunnya wahyu yang pertama?. Para sahabat dibawah kepemimpinan khalifah Umar akhirnya memutuskan tahun pertama kalender Islam dimulai dari hijrahnya Rasulullah SAW.
Kenapa peristiwa hijrahnya Nabi SAW begitu penting?. Jawabnya adalah dari situlah transformasi Islam dimulai, dimana umat memiliki pranata sendiri yang diikat dengan piagam Madinah, berdaulat dan menjalankan syariat Islam. Sebelumnya, sewaktu di Mekah, walaupun Rasulullah SAW sudah menjadi nabi, beliau tidak memiliki wewenang administratif. Oleh karenanya syariat Islam tidak bisa diimplementasikan kepada publik. Dengan kata lain, tahun baru Islam adalah ulang tahun syariat Islam. Karena sejak itu ayat-ayat mengenai syariat turun dengan gencar dan mengalir serta dipraktekkan dalam institusi negara.
Ketika tahun kalender berganti, orang melihat masa setahun sebelumnya dan mencoba berencana untuk satu tahun kedepan, apa sesungguhnya yang terjadi?. Sebuah pesta. Saling meniup terompet keras-keras, petasan, kembang api, deru knalpot, musik dan dansa-dansi. Hampir seluruh dunia hanyut dalam kesadaran umum tentang waktu. Akhirnya, pekik yang diulang tiap tahun melintasi tutup kalender: Selamat Tahun Baru!.
Islam menginterupsi pesta itu. Islam mengingatkan kita, bahwa pergerakan waktu adalah transformasi, dari iri dengki menuju empati, dari jahiliyah menuju madaniyah. Mungkin saja kita merasakan usia yang berangsur. Tapi hidup bukanlah perjalanan yang berakhir pada sebuah nomor kilometer. Ia berada dalam waktu sebelum dipotong-potong bagaikan daging sapi yang diperuntukkan buat steik, semur atau sate. Disitu, dalam kesadaran ke-kini-an yang tak terhingga, hidup akan bergerak sendiri, tak seperti maling yang diburu.
“ Selamat Tahun Baru 1436 Hijriyah”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H