Lihat ke Halaman Asli

Hazmi SRONDOL

TERVERIFIKASI

Penulis/Jurnalis

Rahasia Karakter "Pasang Badan" Prabowo Subianto

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13771754763512750

“Sebenarnya, karakter seseorang itu terbentuk hanya sampai usia 35 an, mas. Setelah umur itu, semua keputusan dan tindakan kita mengacu pada karakter kita saat itu. Ya, kalau saya kurang lebih saat masih berpangkat kaptenlah” kata Prabowo sambil tersenyum dan menyandarkan punggungnya ke kursi.

Sejenak suasana menjadi hening. Sepertinya pak Prabowo sedang menerawang di masa mudanya.

Ya, sebenarnya diam-diam aku pun ikut menerawang. Bagaimana tidak, kata-kata itu muncul tepat beberapa saat menjelang hari ulang tahunku, hari ulang tahun terunik di tahun atau tepatnya bulan agustus 2013 ini. Bagaimana tidak, jika di hitung dari hitungan tahun Hijriah maka usiaku di lebaran 1434 H aku berusia 35 tahun, sedangkan jika dihitung dengan tahun Masehi—tepat esok hari dari tulisan ini dibuat, usiaku masuk ke angka 34.

[caption id="attachment_282761" align="aligncenter" width="270" caption="Kue Ultah, nemu pas acara hajatan Indosat :-p (foto: Syaifuddin Sayuti)"][/caption]

Angka ‘35’ yang akhirnya mau tidak mau membuatku segera membuka laptop dan mencari informasi perihal masa muda pak Prabowo ini. Bukan sekedar kepo atau ingin tahu, tetapi lebih dari itu. Aku ingin membandingkan perjalanan beliau dengan diriku sendiri. Aku fikir, ini saat yang tepat untuk menreview ulang perjalanan hidup. Apabila ada yang baik, maka harus kupertahankan, jika ternyata masih ada atau banyak yang kurang, tidak ada pilihan lain untuk segera mengkontrolnya. Setidaknya ditulis agar menjadi pengingat ketika lepas kendali.

Hmm, aku sedikit tersenyum geli saat membaca salah satu tulisan berjudul 'Taruna itu Bernama Prabowo' dari blogger yang mengatas namakan dirinya Ki Ageng Similikithi (Manila, Filipina), sosok yang kebetulan masih mahasiswa Kedokteran UGM dan berkesempatan bertemu serta berdialog dengan taruna Akabri pada tanggal 6 September 1971.

Dalam pengakuannya, saat itu Prabowo masih malu-malu dan lebih banyak diam di kursi seberang mendengarkan temu wicara tersebut. Padahal saat itu jenderal Sarwo Edhie sudah memperkenalkan bahwa Sermadatar (Sersan Mayor Darat Taruna) Prabowo Subianto tersebut adalah putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo dan mampu berbicara dalam empat bahasa asing yang berbeda. Perkenalan yang semestinya bisa membuatnya gembelengan (sok-sokan) dan banyak gaya. Namun nyatanya kok malah tidak…

Kalau dibandingkanku, dalam usia yang kurang lebih sama. Aku sedang dalam masa perjuangan besar hidup di Jakarta. Hidup sendiri di perantauan yang bukan hanya jauh dari orang tua atau saudara, namun juga tepat saat bapakku meninggal dunia setelah tidak kuat hidup sendiri karena ditinggal oleh istrinya (Ibuku) karena sakit dan meninggal tiga tahun sebelumnya.

Tak terbayangkan dulu, hanya bermodal ijasah STM mesti harus menghadapi kenyataan hidup seperti itu. Ingin pulang kampung, terbayang wajah kakak dan adik yang semuanya cewek yang berharap banyak aku bisa merubah keadaan. Padahal saat itu, ingin sekali aku bisa masuk kuliah atau Akabri.

Namun isyarat bahasa kalbu bapak yang sepertinya angkat tangan untuk membiayai kuliah, ya sudah, almarhum ibuku pernah berpesan bahwa laki-laki harus menjadi ksatria. Harus bisa membuka dan menemukan jalannya sendiri. Aku pun menurut. Aku harus bisa mencari uang sendiri dahulu.

Dan alhamdulillah, Tuhan membimbingku untuk memilih strategi masuk ke perusahaan telekomunikasi multinasional. Walau susah payah untuk bisa diterima menjadi karyawan tetap. Satu pintu pun terbuka. Aku mulai bisa membiayai diriku sendiri untuk kuliah hingga selesai dan mulai belajar bahasa Indonesia dengan lebih baik.

Malum, jika waktu itu Prabowo agak susah berbahasa Indonesia karena lebih lama tinggal di luar negeri sewaktu kecil, maka kalau aku memang susah berbahasa Indonesia karena lidah terlalu medok dan ketika sudah berniat berbahasa Indonesia malah mlipir berubah menjadi bahasa Jawa lagi. Hadeh. Untung saja akhirnya mulai sedikit bisa ber “lu – gue” walau teteeeep, dengan intonasi medok Jawa. Hehehe…

Agak ada sedikit kemiripan posisi dalam profesi yang aku jalani dengan Prabowo. Sepertinya kami-sama-sama lebih banyak berada di bidang lapangan. Jika Prabowo di lapangan perang seperti Timor-Timur atau lain sebaginya, maka aku lebih banyak di proyek-proyek pembangunan dan instalasi.

Wajar jika ketika sudah ditarik kedalam ruang meja karena sudah ada kenaikan jabatan, pantat selalu terasa panas dan ingin segera berdiri dari kursi. Bawaannya bosan dan inginnya jalan-jalan klayaban melihat hal dan orang yang baru atau mencoba hal yang berbeda. Apalagi entah mungkin sedikit kutukan keturunan dari Bapak yang kebetulan jurnalis atau memang sebuah ‘tugas’ dari Tuhan yang aku sendiri belum mengetahui. Namun intinya, sepertinya banyak hal ingin dilihat, dicatat dan dibagi.

Dan tentunya jika hanya melihat meja dan PC di kantor yang semenjak datang hingga pulang tidak pernah bergeser barang satu milimeter pun, apanya yang menarik?

Dari melihat diri sendiri itulah, aku juga paham dan akhirnya tidak heran dengan statement Prabowo “pasang badan” saat melihat Ahok dan Jokowi mulai diganggu preman-preman saat sedang melakukan perapihan pasar tanah Abang. Bahasa ala orang lapangan seperti itu sebenarnya malah bukan statement main-main atau pencitraan ala siapa tuh? Saya sedikit lupa.

Lha wong jangankan berupa statement, dalam kisah yang dituturkan oleh Sersan La Ode Ilham, salah satu anak buah Kapten Prabowo sewaktu tugas di Timor Timur. Sang Kapten sempat sengaja ditubruk dan ditindih oleh anak buahnya karena terlalu bersemangat untuk (maaf) mati di lapangan. Sersan La Ode Ilham tidak mau komandannya gugur karena terlalu berani menyerang tentara fretelin Timor yang sedang menghamburkan tembakan ke arah pasukannya.

Situasi yang sangat terjepit dalam pertempuran tersebut dan kemauan anak buahnya yang tidak menginginkan komandannya gugur di medan tersebutlah yang akhirnya membuat Prabowo mengubah strategi . Karena menurut La Ode--sebarani apa pun komandannya, kapten Prabowo tidak boleh gugur. Keberadaan komandan yang hidup adalah obor penghangat bagi pasukannya. Dan strategi baru pun akhirnya sukses memukul mundur tentara dan musuh banyak yang tertembak mati.

[caption id="attachment_282762" align="aligncenter" width="461" caption="Prabowo Subianto dan pasukannya (sumber: facebook pak Prabowo)"]

1377175621752108452

[/caption]

Dari pihak pasukan Prabowo alhamdulillah selamat, peluru dan bom hanya merusakan radio komunikasi yang satu-satunya alat untuk berkomunikasi ke Jakarta. Rusaknya radio ini sempat membuat muncul berita simpang-siur perihal gugurnya beliau di medan tempur.

Kisah bersama “Mas Bowo”—panggilan akrabnya kepada Kapten Prabowo ini tentu sangat berkesan buat Sersan La Ode Ilham yang kini juga sudah pensiun dengan pangkat terakhir sebagai mayor. Kisah yang mempunyai pandangan serupa oleh apa yang dialami dan dirasakan Letkol (purn) Petrus Sunyoto, anggota Kopassus yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai “Prajurit terberani TNI” oleh Presiden RI. Agak tipis selisih dengan penghargaan istriku kepadaku sebagai “Pria Terganteng Sejagad”. Hehehe…

Nah, kisah ini kutemukan dari tulisannya mas Hamzah Palalloi, seorang kompasianer dalam blog pribadinya. Dalam tulisan tersebut, dikisahkan bahwa pak Petrus menganggap Prabowo selain sosok yang mempunyai pengalaman dan keahlian lapangan dalam bertempur, saat masih di Timor, komandannya sering bergaul dengan rakyat Timor sembari mengajak warga setempat untuk berfikir lebih maju dan menghilangkan perselisihan antar kelompok yang sering menyebabkan perang saudara disana.

Harap maklum, ternyata calon mahasiswa Havard yang akhirnya melilih masuk ke Akabri ini mempunyai hobi membaca yang termasuk skala gila-gilaan. Gampang dilihat jika di kediaman pribadinya di Bukit hambalang, ruang tamu dicampur dengan ruang perpustakaan yang koleksi bukunya bikin ngiler bagi penikmat buku. Tentu Prabowo sadar betul bahwa ilmu akan menjadi belenggu diri sendiri jika tidak dibagi.

Selain itu, pak Petrus masih ingat betul bagaimana kerasnya komandannya memberi pesan agar tidak berlaku senonoh terhadap perempuan yang konon di Timor banyak warganya yang berparas campuran Portugis yang tentu, ehem, cantik-cantik dan melarang pasukannya agar tidak mengambil hak yang bukan haknya. Belum lagi pesan utama lainnya agar melindungi warga tak bersenjata serta wanita dan anak-anak khususnya.

Yang lebih mengharukan dan sangat diingatnya, Prabowo selaku komandannya tidak pernah membedakan makanan yang dimakannya dengan makanan pasukannya. Jika komandannya makan nasi kotak, maka anak buahnya pun sama. Hal yang sempat kubuktikan saat berbuka puasa dengan Prabowo, beliau makan kolak pisang, aku pun juga. Cuman memang sebagai yang lebih muda, porsinya nambah. Maklum masa pertumbuhan.

Beberapa karakter tersebut akhirnya membuatku paham jika memang karakter "pasang badan" dan melekat didiri Prabowo. Bahkan pak Petrus yakin, dengan karakter ini komandannya akan menjadi sosok Presiden RI masa depan yang sesuai kebutuhan dan pengharapan dijamannya. Masa yang jika Alloh menghendaki, akan segera terwujud di tahun 2014 ini.

Nah, dan mengaca kembali pada diri sendiri. Walau memang ada perbedaan medan dalam perjuangan. Prabowo dengan bedil dan rangkulan perhatian, setidaknya saya juga akhirnya menyadari karakter sendiri diusia yang sama. Karakter yang terbentuk dari jalan pena dan keyboard sebagai senjata. Walau memang, pembawaan ‘nyelelek’ ala Semarangan tetap susah dilepas dari gaya menulis. Padahal, serius, kadang draft yang dibuat sudah diusahakan seserius mungkin. Sumpah.

Toh, sedikit menghibur diri sendiri agar tidak terlalu minder, fakta membuktikan bahwa dunia wayang akan menjemukan, kejam dan memusingkan karena terlalu banyak kisah dan intrik yang diceritakan tanpa hadirnya sosok humoris ala Punokawan. Punakawan hadir memberikan hiburan disela kepenatan sambil menyisipkan pelajaran dan inspirasi bagi penontonnya saat terjadi goro-goro atau kekacauan.

Eit, jangan salah, kayangan dan dewa dewi bakal kalang kabut kalau sosok Semar—salah satu dari punakawan sudah ngamuk dan mengeluarkan senjata andalannya. Senjata berupa gas perut alias kentut yang bisa membelah angkasa. Tidak percaya, sini mendekat kalau siap setengah sekarat. Hehehe…

Dan dari itulah, menjelang usia psikologis ala Prabowo, akhirnya aku segera bisa memetakan diri mesti kemana dan apa yang akan kelak akan dilakukan agar karakter tidak berlawanan dengan kodrat. Dunia traveling alias jalan-jalan, seni, menulis, film dan hal-hal yang berkaitan dengan kreatifitas yang tidak membosankan sudah menjadi bahasan dengan istri ketika sudah berani mentas dari seorang ‘tahanan’ kantor alias karyawan. Hehehe…

…….

Suatu malam menjelang subuh.

“…Zzz… jual rumah yang satunya yuk, Buk. Buat beli hadiah motor Harley Davidson waktu bapak ultah besok … zzz…" kataku sambil pura-pura menggigau saat tidur.

"PLAK!” tabok istriku di pipi, pura-pura ada nyamuk disana lalu ikutan melanjutkan tidur.

Oh, keluarga yang gagal berpura-pura.

[Bekasi, 22 Agustus 2013, jelang ultah ke 34]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline