“Lengkap amat alamatnya, Om?”
“Belum termasuk nomer rekening BCA itu” jawabku via fasilitas pesan di ponsel usai aku memberikan alamat lengkap beserta kode pos dan nomer telepon rumah yang dibalasnya dengan kiriman deretan emotikon ketawa ngakak-ngakak.
Ya, memang telah kupersiapkan data alamat rumah beserta beberapa nomer penting termasuk rekening bank hingga rekening listrik PLN prabayar. Maklum, jelek-jelek begini—saya ini adalah sales handal bisnis online shop istri di rumah dan kedua data terpenting itu mesti selalu disiapkan agar tidak kelabakan saat dibutuhkan. Jadi, biar pun secara struktur kepemerintahan keluarga saya adalah kepala keluarga, namun soal bisnis internet memang saya anak buah istri yang lebih lihai soal yang satu ini.
Nah, kembali ke soal pesan diatas—sempat kupikir permintaan alamat tersebut hanya sekedar basa-basi atau sekedar memferifikasi keabsahan lokasi rumah yang aku cantumkan di facebook. Namun setelah mas Sandy Pu mengatakan serius ingin bertamu, aku pun segera menyambutnya dengan dengan riang hati. Maklum, dalam obrolan online sebelumnya sempat menyenggol bahasan soal industri kreatif seperti novel, komik dan lain sebagainya.
[caption id="attachment_280534" align="aligncenter" width="576" caption="Saya dan Sandy Pu"][/caption]
Ternyata benar, kehadiran mas Sandy Pu tidak sekedar untuk membuang masa atau ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas. Dibawakannya dua buah komik karya anak bangsa berjudul Islam Sehari-hari, Yang Penting, Yang Terabaikan karya VBI_Djenggotten dan Kembalinya Si Tinju Api JAKA KAHURUAN karya Fauzy Zulvikar.
Komik yang sungguh membuatku tercengang. Tak menyangka, setelah pisahnya Benny dan Mice ada penerus komik yang sangat berkarakter seperti karya mas VBI_djenggoten ini. Pesan dakwah yang sangat halus dan tidak menggurui serta mentertawakan diri sendiri sangat mengena. Bukan untuk saya saja, namun buat anak kami yang baru berusia 7 tahun pun masih pas untuk dicerna dan menjadi salah satu favorit bacaannya. Semakin lengkap lebaran kali ini dengan santapan rohani sekaligus santapan intelektualitas ini.
Komik Jaka Kahuruan pun juga tidak kalah memikat. Konsep komikatural ala manga Jepang namun dengan ruh budaya Sunda yang kental seakan menyihir pembacanya untuk terus melahapnya tanpa henti . Paling menohok, komikusnya masih sangat muda. Baru berusia 21 tahun alias kelahiran tahun 1992.
Tak cukup hanya membahas dua buku komik tersebut, beberapa karya komik strip yang muncul dari aplikasi Google Play karya anak bangsa seperti Budi dan Badu dan lain sebagainya pun kami bahas. Sungguh mengagetkan. Komik ini bisa diunduh dan di baca gratis-tis-tis-tiiiis!
Ya, memang kadangkala harus diakui. Bangsa Indonesia, bangsa yang peradabannya paling duluan ada dan maju khususnya di dunia kreatifitas, kini tampak mengenaskan. Boleh di cek dalam sejarah negara adidaya Amerika, mana ada budaya prasasti? Sebuah budaya seni kreatif dari material batu yang baru ada di zaman itu. Bahkan catatan dalam era sebelum kertas dan digital, Indonesialah rajanya. Walau mesti kembali menahan nafas jika catatan-catatan seperti La Galigo atau serat Centhini, serat yang sayangnya draft aslinya malah tersimpan di perpustakaan Belanda.
Belum lagi betapa terperangahnya saat iseng masuk ke salah satu grup facebook yang membahas soal Bangkitnya SuperHero Indonesia, betapa melongonya mulut ini melihat salah satu karya yang bertajuk KALONG buatan Adhicipta R Wirawan yang merupakan pembaruan dari sosok CALONG karya HASMI yang bukan saya, kalau saya mah Hazmi Srondol. Hehehe.. bayangkan, sosok kalong ini digambarkan seperti batman namun memakai hasduk merah putih Pramuka. Keren, rapi dan memikat. Indonesia banget pokoknya lah…
[caption id="attachment_280535" align="aligncenter" width="567" caption="gambar : Adhicipta R. Wirawan"]
[/caption]
Belum lagi soal karya kreatif baik klasik mau pun modern seperti tari dan lagu, tak cukup tulisan ini untuk mencatatanya. Coba kita berhitung sejak era reformasi saja, sudah berapa lagu karya musisi seperti Sheila On 7, DEWA hingga WALI yang sudah dialih bahasakan ke bahasa luar negeri?
Namun, segala kebanggan ini seperti kembali dihempaskan ke bumi. Sakit rasanya mendengar anekdot soal kurang dihargainya karya kreatif anak bangsa sendiri. Pernah dengar istilah : buku laku maka dibajak, buku tak laku maka royalti sedikit untuk penulis? Atau, “sekali lagu terdendang—esok pagi VCD bajakan muncul di pasaran”?
Jadilah para penulis, komikus, seniman hanya menjadikan produk karyanya sebagai “mahkota intelektualitas” saja. Soal dapur? Mereka mesti mengamen lewat seminar atau panggung. Itu pun dengan satu catatan: selagi ada!
Padahal, dalam sebuah diskusi dengan Prabowo Subianto di Bukit Hambalang kediaman beliau sehari-hari perihal industri kreatif ini—beliau sepakat dengan pandangan bahwa industri kreatif berbasis budaya sebuah bangsa ini adalah ‘pintu permisif’ masuknya produk susulan dari dari bangsa tersebut.
Perbandingan nyatanya tentu adalah masuknya gelombang budaya Korea yang lazim kita sebut Korean Wave. Bisa ditengok popularitas Gangnam Style yang meraup milyaran penonton di Youtube, drama Korea yang membuat ibu-ibu dan mbak-mbak betah menatap televisi lama-lama hingga lagu Korea yang makin populer saja.
Padahal, selagi menikmati karya kreatif bangsa Korea, tanpa sadar sudah masuk membanjir produk Samsung, Lotte Mart, Hyunday, KIA dan lain sebaginya tanpa bisa kita menahannya. Dan mungkin sebentar lagi, produk Malaysia juga akan membanjiri Indonesia setelah suksesnya Upin & Ipin dan Boboy Boy di televisi Indonesia. Bayangkan saja, dari industri kreatifnya saja—Korea mengumpulkan pundi-pundi miliaran won, lha bagaimana dengan produk manufacture susulannya?
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Betul, kita sudah mempunyai Departemen Pariwisata dan Industri Kreatif. Namun mohon maaf, tampaknya pola yang terlihat dan dirasakan masih bersifat normatif. Ingin rasanya membandingkan dengan beberapa point program Prabowo yang secara teknis sangat berkaitan jelas mendukung Industri kreatif ini.
Seperti contohnya memperkuat karakter bangsa yang berkepribadian Pancasila, membangun infrastruktur dan fasilitas pendukung seperti pariwisata. Terbayang kelak dimata akan banyaknya seni kreatif yang sangat ‘Indonesia Banget’ atau munculnya kota ala Suwon di Korea yang menjadi pusat industri kreatif Korea yang akhirnya menjawab pertanyaan kecil saya kenapa sepertinya film/drama Korea sepertinya tempatnya kok mirip-mirip dengan judul drama lainnya? Lha wong, memang lokasinya sama. Byuh!
Dan segala konsep yang seperti terkait benang merah ini, berujung pada satu titik teratas yaitu meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dari Rp 35 juta (3.500 dollar AS) menjadi Rp 60 juta (6.000 dollar AS).
Belum lagi tambahan konsep pemilihan orang-orang terbaik yang akan diambil Prabowo. Tersirat konsep ala pemerintahan RRC yang memilih 400-600an orang terbaik dan terjujur untuk memimpin bidangnya masing-masing. Contohnya jika Departemen Pariwisata dan Industri Kreatif dipimpin oleh sosok yang bukan hanya paham secara normatif akademis. Sosok yang muda—benar-benar muda yang bukan sekedar ‘berjiwa muda’ yang mempunyai passion dan insting pada bidang industri kreatif, industri yang belum ada jurusan resminya di universitas ini…
Maka terbayang akselerasi yang cepat untuk transformasi bangsa ini. Karena dalam dunia indutri kreatif, pejabat fasilisator harus juga merupakan user (penikmat) hasil karya kreatif itu sendiri. Istilahnya tidak terjadi ‘gap of generation’. Boleh jadi hasilnya lebih cepat tercapai daripada ramalan yang konon hanya terwujud di tahun 2030. Ckckck, pesimis amat yah? Mosok ingin membanjirkan produk sendiri ke negara tetangga mesti ragu-ragu. Ya aneh.
Namun, segala konsep dan program yang terpampang jelas ini tentu saja tergantung kepada ‘kewenangan’ yang akan diemban Prabowo sebagai Presiden. Kewenangan yang mesti ditunggu tahun 2014 besok. Walau memang menunggu itu membosankan, setidaknya menunggu sosok yang jelas langkah yang diambilnya mengurangi rasa bosan dan berubah menjadi deg-degan.
Deg-degan yang mungkin sama dirasakan saat usai berdiskusi, saya meminta contoh karya komik mas Sandy Pu ini. Mosok sedari tadi menyodorkan karya orang lain tapi karya sendiri kok disimpan. Padahal sebelum bertamu ke rumahku, sepertinya mampir dahulu ke toko buku untuk membeli spidol aneka warna. Tanda siap berkarya di dunia kreatif komik. Dunia yang tak perlu modal SDA, cukup modal SDM berupa otak dan imajinasi yang harganya tak terkira.
[caption id="attachment_280536" align="aligncenter" width="240" caption="Tomo & Tama by Sandy Pu di sebuah majalah"]
[/caption]
Dan benar dugaanku, komik TOMO dan TAMA karyanya sangat bagus. Tinggal menyesuaikan target pembacanya. Toh walau pun aku (sok) lihay menulis artikel atau status facebook, soal menggambar aku angkat tangan. Mas Sandy beberapa tingkat diatasku.
Setuju?
[Bekasi, 13 Agustus 2013]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H