Martyn Hammersiey (2001) menyatakan, Qualitative research is concerned with life as it is lived, things as they happen, situations as they are constructed in the day-to-day, moment-to-moment course of events. This might be contrasted with the setting up of artificial experiments. Qualitative researchers seek lived experiences in real situations. In general, they try not to disturb the scene and aim to be unobtrusive in their methods. This is to attempt to ensure that data and analysis will closely reflect what is happening.
Maksud dari pendapat Martyn Hammersiey (2001) adalah penelitian kualitatif berkaitan dengan kehidupan seperti yang dijalani, hal-hal seperti yang terjadi, situasi saat dibangun dalam kegiatan sehari-hari, dari saat ke waktu. Hal ini mungkin kontras dengan persiapan penelitian. Peneliti kualitatif mencari pengalaman hidup dari kenyataan. Secara umum, peneliti mencoba untuk merusak kenyataan. Hal ini dikarenakan untuk memastikan bahwa data dan analisis akan mencerminkan apa yang sedang terjadi.
Guru dengan baik membantu anak agar terbiasa dalam melaksanakan salat duha. Guru memberikan penjelasan tentang alasan mengapa salat duha tersebut harus dilakukan setiap hari serta guru mampu mengatasi hambatan yang ada pada saat pelaksanaan pembiasaan salat duha berlangsung. Guru menjelaskan bahwa ketika anak melaksanakan salat duha maka anak akan mendapatkan pahala untuk masuk ke dalam surga. Selain daripada itu, guru juga menyiapkan sajadah untuk anak yang menjadi imam pada saat pelaksanaan salat duha. Diperlukan adanya dukungan dari orang tua anak untuk melaksanakan salat duha dengan cara membangun anak lebih awal dari hari libur. Berikut faktor pendukungnya sebagai berikut: (1) Pembentukan kebiasaan yang dilakukan dengan mempergunakan metode pembiasaan akan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan, (2) Pemanfaatan kebiasaan-kebiasaan tidak memerlukan banyak konsentrasi dalam pelaksanaannya, (3) Pembentukan kebiasaan membuat gerakan-gerakan kompleks dan rumit menjadi otomatis. Hal ini menjadikan salat duha menjadi mudah dilakukan oleh anak, (4) Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan lahiriyah tetapi juga bathiniyah.
Faktor Penghambat Pelaksanaan
keterlambatan anak datang ke sekolah akibat dari kesiangan, tidak mau masuk musala dikarenakan tidak ada temannya serta ada anak yang mengatakan bahwa ia mengalami sakit atau demam sehingga lebih memilih untuk masuk ke kelas sehingga membuat anak enggan untuk melaksanakan salat duha. Selain itu, orang tua juga mengatakan bahwa anak-anak yang terkadang tidak ingin melaksanakan pembiasaan salat duha dikarenakan adanya guru yang sedikit berteriak kepada teman-teman pada saat dimusala. Hal ini menjadi faktor yang menghambat pembiasaan sehingga membuat anak yang seharusnya bisa membaca dan menggerakkan anggota tubuhnya sesuai gerakan salat menjadi tidak bisa atau enggan melaksanakannya.
Muhammad Fadlillah (2014), Adapun untuk kekurangan-kekurangan metode pembiasaan ini sebagai berikut: (1) Untuk awal-awal pembiasaan, anak akan merasa bosan melakukannya. Berdasarkan wawancara dengan guru kelas A, poin bagian satu ini menjadi penghambat yang paling terjadi kepada anak. Hal ini dikarenakan, anak tidak suka melakukan hal yang menoton atau itu-itu saja,, (2) Bila suatu kebiasaan sudah tertanam dalam diri anak, sulit untuk dihilang. Pada bagian poin ini, jika anak sudah terbiasa melaksanakan salat duha maka anak akan menjadi pribadi yang soleh pada saat dewasa kelak, (3) Anak belum dapat mengidentifikasi antara yang benar (baik) dan salah (buruk), (4) Membutuhkan guru yang dapat dijadikan teladan dan mempunyai kepribadian yang baik di mata anak, (5) Membutuhkan waktu bertahap untuk dapat menanamkan suatu kebiasaan pada anak.
Sudah dikatakan bahwa anak yang tidak melaksanakan salat duha ini diberikan metode pembiasaan ini dapat dijadikan sebagai pendukung dalam pelaksanaan salat duha pada anak. Hal ini dikarenakan pada poin pertama yang mengatakan bahwa pembentukan suatu kebiasaan seperti salat duha ini dapat menambah kecepatan dan ketepatan anak dalam melakukan gerakan dan bacaan. Sedangkan poin kedua dan ketiga mengatakan bahwa anak diharuskan agar dibiasakan melaksanakan sesuatu yang baik terlebih dahulu dan jangan sampai kebiasaan buruk mendahului, gerakan dalam salat duha ini menjadi otomatis dilakukan anak tanpa harus diajari kembali serta poin keempat yang mengatakan bahwa perubahan anak bukan hanya terlihat dalam bentuk fisik namun dalam bentuk bathin juga diharapkan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Salat duha ini dilaksanakan bersama-sama dengan suara keras dan secara tidak langsung dapat membiasakan anak untuk menjaga hubungan baik sesama teman, tidak saling mengganggu serta menjadikan anak cepat hafal bacaan-bacaan salat dengan baik dan benar. Penggunaan media dalam pembiasaan salat duha ini sangat baik dilakukan agar anak memahami tata cara salat, tersedianya sarana dan prasarana seperti adanya musala serta waktu bahkan guru pembimbing dalam pembiasaan salat duha ini sangat diperlukan. Dalam observasi yang dilakukan, guru sudah mencoba semaksimal mungkin dalam memberikan solusi jika anak yang tidak mau melaksanakan salat duha akan diberikan hukuman berupa nasihat dan teguran serta membicarakannya kepada orang tua anak agar membantu membiasakan anak agar bisa terbiasa melaksanakan salat duha.
Dengan demikian, solusi dalam mengatasi faktor penghambat pelaksanaan salat duha ini adalah guru dapat membantu anak memahami dan membimbing anak dalam membiasakan diri untuk melaksanakan salat duha tanpa ada paksaan yang bisa saja dari pihak orang tua maupun dari pihak sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H