Lihat ke Halaman Asli

Sri Wahyuni.R

Pascasarjana UIN Ar-Raniry

Problematika Najwa Shihab Atas Jilbab

Diperbarui: 13 Desember 2023   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak

Pemikiran tafsir kontemporer adalah menjadikan al-Qur'an yang shalih likulli zaman wa makan dan sesuai dengan semangat zaman. Pada tafsir kontemporer, paradigma yang digunakan cenderung kontekstual. Jika ditinjau dari sisi sumber penafsiran, pada masa ini cara dan metode penafsiran didasarkan pada ayat al-Qur'an, akal (ijtihad), dan realitas empiris. Pada era ini, metode penafsiran al-Qur'an selain menunjukkan metode dan coraknya yang lain dengan masa-masa klasik, namun juga selalu mengangkat dan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang sedang marak. Contohnya ketika mufassir merespon persoalan budak, poligami, politik, Hak dan Kewajiban, ekonomi, budaya dan hal-hal lainnya. Pemikiran kontemporer yang menuai pro dan kontra adalah pemikiran Quraish Shihab atas jilbab. Permasalahanya adalah mengapa interpretasi jilbab menurut Quraish Shihab berbeda dengan beragam pendangan para tokoh agama atas jilbab bagi wanita muslimah. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Quraish Shihab memandang maksud dari firman Allah surah al-Ahzab ayat 59, tidak dapat dikatakan sebuah perintah yang menunjukkan wajibnya memakai jilbab bagi wanita muslimah. Isu tersebut juga menuai sorotan dari beberapa pihak karena salah satu putrinya Najwa Shihab sebagai seorang wanita muslimah memilih tidak mengenakan jilbab.

Kata Kunci: Jilbab, Quraish Shihab, Kontemporer.

Pendahuluan

Isu-isu yang menjadi perbincangan hangat di era kontemporer adalah penafsiran ulama-ulama kontemporer yang berbeda dengan ulama terdahulu yang notabene nya sudah lebih mengetahui dan lebih dulu mengkaji isu tersebut. Hal ini menjadi buah pertanyaan di kalangan pengkaji era sekarang adalah cara dan metode yang digunakan oleh penafsir kontemporer. Alat apa yang menjadi pisau bedah mereka sehingga melahirkan pemikiran yang berbeda dengan sebelumnya. Padahal dapat dikatakan bahwa ulama klasik tentu lebih mengetahui sebab akibat munculnya problematika tersebut karena mereka yang lebih dengan Nabi, sahabat maupun tabi'in yang merupakan dasar lahirnya ilmu pengetahuan.

Era kontemporer merupakan era berkembang dan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan tidak terkecuali dengan ilmu agama dan tafsir. Terlihat bahwa saat ini model dan metode penafsiran semakin beragam dan berkembang dari era sebelumnya . Contohnya seperti Muhammad Abduh yang mengkritik penafsiran al-Qur'an pada masa klasik. Bagi Abduh, metode dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an pada masa klasik sudah tidak sesuai lagi dengan semangat dan kebutuhan kebangkitan umat Islam saat ini. Penafsiran ulama sebelumnya yang condong pada ketekstualan ayat al-Qur'an tidak mampu menjawab persoalan masyarakat yang terjadi di zaman sekarang. Ide dan gagasan Abduh dalam mereintepretasikan al-Qur'an dengan cara yang berbeda dari sebelumnya yaitu dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang relevan dan berkembang untuk menemukan dan memahami firman Allah dibalik makna literalnya. Hal lainnya adalah Abduh juga membuat orientasi baru yang kemudian dipahami dengan metode tafsir ijmali atau tafsir sosial kemasyarakat yang bertujuan untuk menjawab permasalahan di masyarakat.[1] 

 

Kemudian juga Fazlur Rahman contohnya, memberi alternatif lain untuk menafsirkan firman Allah dengan metode "Tafsir Kontekstual". Rahman memandang ayat-ayat al-Qur'an tidak dapat dimaknai secara harifiyah begitu saja seperti yang dilakukan oleh  para penafsir-penafsir terdahulu. Menurutnya, maksud yang sebenarnya ditujukan oleh ayat-ayat al-Qur'an sebagai firman Allah bukanlah maksud yang hanya dapat dimaknai berdasarkan harfiah suatu ayat saja, bahkan dibalik itu terkandung pesan moral yang dapat diambil sebagai petunjuk dari lafadz dan literal ayat-ayat al-Qur'an. Berdasarkan hal tersebut, pesan-pesan yang dikandung al-Qur'an hanya dapat dipahami dengan kerangka berfikir yang baru sehingga dapat menjadi pentujuk dan fungsi yang sebenarnya.[2]

 

Contoh problematika yang terus menjadi perbincangan sampai saat ini adalah penafsiran Quraish Shihab atas makna jilbab. Penalarannya yang berbeda menuai pro dan kontra sehingga menjadi perbincangan yang hangat bagi kalangan perempuan muslimah maupun ulama-ulama yang tidak sependapat dengannya. Dalam memberikan makna ayat tersebut, Quraish Shihab memberikan alternative dengan rujukan para ulama, baik ulama klasik maupun kontemporer. Berikut penulis akan mencoba mengangkat isu jilbab perspektif Quraish Shihab yang mana menurutnya jilbab bukan menjadi sebuah kewajiban bagi perempuan muslimah. Berdasarkan pendapat tersebut, masyarakat umum khususnya di dunia entertainment menilai Najwa Shibab sebagai contoh implementasi dari pendapat ayahnya yang tidak secara tegas mewajibkan memakai jilbab.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline