Literasi merupakan salah satu aspek yang penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas di tahun 2045. Akan tetapi, tingkat literasi Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.
Survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara yang mengikuti survey tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada pada posisi 10 negara dengan tingkat literasi terendah (Kemenko, 19 November 2021).
Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa tingkat aktivitas literasi masyarakat Indonesia tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian terhadap tiga puluh empat provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi (26%) masuk ke dalam kategori aktivitas literasi sedang, 24 provinsi (71%) masuk ke dalam kategori aktivitas literasi rendah, dan 1 provinsi (3%) masuk ke dalam kategori aktivitas literasi rendah. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa Sebagian besar provinsi di Indonesia masuk ke dalam kategori aktivitas literasi rendah. Tidak ada satu provinsipun yang masuk ke dalam kategori aktivitas literasi tinggi maupun sangat tinggi. Hal ini tercermin pada capaian Index Alibaca Nasional dengan angka index sebesar 37,32 yang mana berada pada level aktivitas literasi rendah (Index Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi, 2019).
Didik Suhardi, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenko PMK, menjelaskan bahwa literasi memiliki makna yang luas. Literasi tidak hanya mencakup makna kemampuan memahami informasi, akan tetapi juga kemampuan berkomunikasi, baik itu kemampuan membaca maupun menulis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa literasi merupakan seberapa dalam pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap suatu ilmu pengetahuan (Kemenko, 19 November 2021). Pemahaman akan isi dari bacaan adalah hal yang terpenting, bukan banyakanya bacaan yang telah dibaca.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan literasi adalah dengan program pembudayaan literasi di sekolah. Perpustakaan yang ada disetiap sekolah hendaknya menjadi sarana utama untuk meningkatkan minat membaca para siswa yang ada di sekolah tersebut. Dengan desain perpustakaan yang menarik atau dengan program-program kegiatan dalam perpustakaan yang menarik akan membantu pembudayaan literasi di sekolah-sekolah.
Tahun 2021, pemerintah mulai melirik pengembangan literasi pada usia dini. Salah satu metode yang bisa dilakukan adalah orang tua membacakan buku kepada anak. Metode ini dapat dilakukan sedini mungkin dan sangat mudah dilakukan. Metode ini tidak hanya bisa dilakukan oleh guru-guru anak usia dini di lingkungan sekolah, akan tetapi bisa dilakukan oleh orang tua di lingkungan rumah. Guru maupun orang tua bisa menentukan waktu yang tepat untuk membacakan buku kepada anak.
Pada saat guru maupun orang tua membacakan buku kepada anak, anak secara otomatis belajar bahasa dan menggunakan bahasa. Interaksi antara guru atau orang tua dan anak ini membentuk koneksi antara guru atau orang tua dan anak. Cerita yang didengar oleh anak bisa menjadi bahan percakapan dengan guru atau orang tua. Pertanyaan-pertanyaan bisa muncul berkaitan dengan cerita yang dibacakan oleh guru atau orang tua. Dengan sikap positif dari guru atau orang tua terhadap buku atau bacaan yang dibacakan kepada anak akan menumbuhkan minat anak terhadap literasi.
Perpustakaan sekolah bisa membantu program literasi membacakan buku kepada anak dengan memperbolehkan anak untuk memilih buku yang disukainya dan membawa pulang ke rumah. Dengan meminjam buku dari perpustakaan, maka orang tua sebagai pendamping anak di rumah bisa membantu membacakan buku tersebut pada waktu luang. Perpustakaan hendaknya menyeleksi terlebih dahulu buku-buku yang sesuai dengan umur anak. Buku cerita yang dipinjamkan kepada anak hendaknya sesuai dengan perkembangan anak sehingga anak bisa memahami isi cerita tersebut.
Interaksi dua arah bisa dilakukan oleh guru atau orang tua dengan anak dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan mudah kepada anak seperti "Siapakah nama kucing itu?", "Ada berapa apel yang dibawa oleh Indah?", dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa membantu anak untuk memahami cerita yang telah dibacakan. Guru maupun orang tua juga bisa membantu anak untuk memahami cerita dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak.
Interaksi dua arah ini akan menumbuhkan pemahaman anak akan cerita yang dibacakan oleh guru maupun orang tua. Anak bisa menceritakan kembali cerita yang telah dibacakan. Dan inilah yang dimaksud dengan literasi. Literasi bukan hanya tentang berapa jumlah buku yang telah dibacakan oleh guru atau orang tua kepada anak, tetapi pemahaman anak terhadap cerita yang telah dibacakan oleh guru atau orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H