Lihat ke Halaman Asli

SRI WARDANI

Penulis dan MC

Ketika Salat Id di Perantauan

Diperbarui: 26 Juli 2021   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Seminggu yang lalu umat muslim merayakan hari raya Iduladha. Sebuah hari raya besar dalam Islam yang diiringi kebahagiaan memotong hewan kurban dan berbagi. Moment kebersamaan dengan keluarga begitu terasa, berkumpul dan memasak daging menyambung silaturrahim.

Setiap Iduladha tiba, momen kenangan salat Id di negeri orang tujuh tahun lalu selalu membayang dalam ingatan. Hari itu adalah salah satu hari raya yang membuat saya berurai air mata, ternyata berat berada di perantauan saat momen istimewa ini.

Mengikuti pelatihan selama hampir dua bulan di kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Minggu kedua diklat adalah Iduladha terpisah dengan keluarga. 

Sebelumnya saya tidak pernah merasakan salat id diperantauan. Kampung saya hanya radius lima kilometer dari Kota Pekanbaru, rumah mertua dekat dengan tempat tinggal. Cerita hari itu menjadi kisah yang tidak terlupakan.

Pagi itu, sebuah kerinduan membengkak. Mendengar takbir yang berkumandang bergema, seiring dengan meluapnya air mata. Dari asrama kampus, melangkah ke lapangan, setiap pijakan kaki merasa percikan air mata mengiringi. 

Sajadah yang dibentangkan seakan tempat menunduk untuk menampung buliran yang bertaburan. Pilu dan rindu dengan keluarga tidak usai sepanjang takbir. 

Saya dan teman bersaing menjulurkan tetesan bening. Pada hal, tidak kami saja yang terpisah dengan keluarga di sini, saya perhatikan jamaah salat hampir semuanya mahasiswa. Libur Iduladha singkat, mereka juga memutuskan tidak pulang kampung.

Saya berusaha untuk tegar dan kuat, tetapi gundukan lembut itu tidak bisa berkompromi, tetap saja mengalir membasahi pipi dan mukena. Apalagi melihat teman saya tersedu dan badannya terguncang karena terisak. 

Wajar, dia meninggalkan tiga anak yang masih kecil. Sungguh sendunya lebih berat. Saya memeluknya untuk menenangkan meskipun pelukan itu membuat tangisnya semakin pecah.

Selesai salat kami kembali ke asrama, memang disediakan sarapan lontong, hanya saja suasananya tidak mengena. Teman saya masih menagis, teman laki-laki malah sibuk membuat lelucon agar semua tertawa. Saya sudah menutup tangis dan berpura-pura bisa bebas, sebenarnya lubuk hati masih menggenang.

Untuk menghilangkan kehampaan yang dirasakan, kami memutuskan menjelajahi Banda Aceh,  yang penting kami keluar dari asrama. Ternyata semua tempat wisata yang biasanya dibuka tutup, setidaknya kami mencoba memastikan dengan mengunjungi museum tsunami Aceh kemudian ke pantai Lampuuk. benar semuanya ditutup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline